BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ilmu Tauhid (ilmu kalam) merupakan disiplin ilmu
keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam
Tuhan. Persoalan-pesoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang
mendalam dengan dasar argumen-argumen baik secara rasional (aqliyah) maupun secara tradisional (naqliyah). Yang dimaksud argumen secara aqliyah adalah landasan pemahaman yang
cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya berdasarkan pada
argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dampak dari ilmu kalam ini juga melahirkan banyak
aliran, banyak perbedaan pemikiran tentang perbuatan Tuhan dan perbuatan
manusia. Mengenai perbedaan ini, akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis membuat
rumusan sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan Tuhan?
2.
Bagaimanakah pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan
manusia?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan yang disusun dalam makalah ini
adalah untuk memaparkan tentang:
1.
Memahami pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan Tuhan.
2.
Memahami pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan manusia.
D. Manfaat
Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat
untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana pandangan dari berbagai aliran
ilmu kalam mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
MATERI
A. Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa
Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis
dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Ada tiga aliran besar
(Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah) dalam ilmu kalam dalam pandangannya
tentang perbuatan Tuhan ini.
1. Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam
bercorak rasional berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal
yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti Tuhan tidak dapat melakukan
perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan
buruk karena Tuhan mengetahui
keburukan dari perbuatan itu. Di dalam Al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa
Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh
Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya [21]: 23
dan surat Ar-Rum [30]: 8.
Ÿw ã@t«ó¡ç„ $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur
šcqè=t«ó¡ç„ ÇËÌÈ
Artinya: “Dia
tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai”.
öNs9urr&
(#rã©3xÿtGtƒ þ’Îû NÍkŦàÿRr& 3 $¨B t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»uK¡¡9$# uÚö‘F{$#ur $tBur
!$yJåks]øŠt/ žwÎ)
Èd,ysø9$$Î/
9@y_r&ur
‘wK|¡•B 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# Ç›!$s)Î=Î/
öNÎgÎn/u‘ tbrãÏÿ»s3s9 ÇÑÈ
Artinya: “Dan mengapa
mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan
langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan)
yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara
manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”.
Qadi Abd Al-Jabar seorang tokoh Mu’tazilah
mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang
baik dan Maha suci dari perbuatan yang buruk. Adapun ayat kedua menurut
Al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan
perbuatan yang buruk.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep
tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan adanya batasan-batasan bagi
kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat
bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat
disimpulkan menjadi satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia.
Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah
memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini.
a. Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan
manusia.
Memberi beban diluar kemampuan manusia
(taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan
terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan
akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang terlalu berat kepada
manusia.
b. Kewajiban mengirimkan Rosul.
Bagi aliran Mu’tazilah dengan
kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah
begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu
kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat
mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib.
Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik
dan terbaik bagi manusia dengan cara
mengirim rasul. Tanpa rasul, manusia
tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c. Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman
(al-wa’id).
Janji dan ancaman merupakan salah satu
dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya
dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika
tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan
menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak
menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat
dan kepentingan manusia. Oleh karena itu,
menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy-‘ariyah, faham kewajiban Tuhan
berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah),
sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima karena
bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa
Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan
demikian, aliran Asy-‘ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai
kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap mahluk. Sebagaimana
dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz)
dan tidak satu pun darinya mempunyai sifat wajib.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan
berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy-‘ariyah menerima faham pemberian beban
diluar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma,
bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia.
Al-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.
Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam
teologi, aliran Asy-‘ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu
bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban
apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya
Tuhan tidak mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan
mengalami kekacauan. Tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik
dan perbuatan buruk. Namun sesuai dengan faham Asy-‘ariyah tentang kekuasaan
dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi
mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.Tuhan dalam faham aliran
ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy-‘ariyah
berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan
menjalankan ancaman yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits. Di sini timbul
persoalan bagi Asy-‘ariyah karena dalam Al-Qur’an dikatakan dengan tegas
bahwa siapa yang
berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab “man,
alladzina” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi
interpretasi oleh Al-Asy’ari, “bukan semua orang tapi sebagian”. Dengan
demikian kata siapa dalam ayat “barangsiapa menelan harta anak yatim piatu
dengan cara tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya”,
mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian.
3. Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan
Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan
maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga memberikan batas
pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan
hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai
kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul
sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukahara memiliki
pandangan yang sama dengan Asy-‘ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak
mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan Badzawi, Tuhan pasti menepati
janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan
mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berbuat dosa besar. Adapun
pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul sesuai dengan faham
mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah bersifat wajib dan
hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand memberi batasan pada
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya
kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang
pemberian upah dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada
manusia diluar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah
Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Badzawi, tidaklah mustahil meletakkan
kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya
aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah.
Menurut Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran
Asy-‘ariyah dalam hal ini karena Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak
membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban
yang tak terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa
manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.
Adapun mengenai pengiriman
rasul, aliran Maturidiyah golongan Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran
Asy-‘ariyah. Pengiriman rasul menurut mereka tidaklah bersifat wajib dan hanya
bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang
persoalan ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Dalam isyarat
Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan
Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman rasul.
Mengenai kewajiban Tuhan
memenuhi janji dan ancamanNya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan
aliran Asy-‘ariyah. Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tidak
mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat
baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman
kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh
kehendak mutlak Tuhan.bukan tidak mungkin Tuhan memberi ampunan kepada
seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya
sama.
Uraian Al-Badzawi ini
mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada
orang yang berbuat baik. Dengan demikian Tuhan memiliki kewajiban terhadap
manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya
bahwa Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia.
Menurut aliran Asy-‘ariyah sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar janji-janji-Nya. Sebaliknya, menurut
Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi
upah kepada orang yang berbuat baik.
B. Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan
sederhana oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin
Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan
Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam
oleh aliran Mu’tazilah, Asy‘ariyah dan Maturidiyah
1. Aliran Jabariyah
Terdapat perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan
Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim
berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang
timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya.
Misalnya kalau seseorang mencuri itu bukanlah terjadi karena kehendak sendiri,
tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Bahkan
Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa
manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun
Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik
perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di
dalamnya. Tenaga yang ada dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan
perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab manusia
tidaklah majbur (dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh
dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia mempunyai
perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.
Aliran
Qadariyah
Aliran
Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatannya
atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia
berhak mendaptkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula
memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila
seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi
ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan
pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan.
Faham
takdir yang dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang
umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa
nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, menurut bangsa Arab, dalam
perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan
semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir adalah
ketentuan Allah yang diciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya,
semenjak ajal, yaitu hukum dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Aliran
Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala
perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin ini mempunyai tempat pijakan
dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini,
misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]: 29:
È@è%ur ‘,ysø9$# `ÏB óOä3În/§‘ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sã‹ù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3u‹ù=sù 4 !$¯RÎ) $tRô‰tGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·‘$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß 4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o„ (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. “Èqô±o„ onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$y™ur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
Artinya: dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka
Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang
ingin (kafir) Biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang
orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka
meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang
mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat
istirahat yang paling jelek”.
3.
Aliran
Mu’tazilah
Aliran
Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Menurut
Al-Juba’i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya.
Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan
seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak
terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan
manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah
yang mewujudkan perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya
juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat dalam diri manusia adalah tempat
terciptanya perbuatan. Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran
Mu’tazilah mengecam keras faham yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan
perbuatan.
Dengan
faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku bahwa Tuhan sebagai pencipta awal,
sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah
bentuknya. Aliran Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui
segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang
membedakannya dari penganut Qadariyah murni.
Untuk
membela fahamnya, aliran Mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut:
ü“Ï%©!$# z`|¡ômr&
¨@ä. >äóÓx«
¼çms)n=yz
( r&y‰t/ur
t,ù=yz Ç`»|¡SM}$#
`ÏB
&ûüÏÛ
ÇÐÈ
Artinya:
“Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai
penciptaan manusia dari tanah.
Yang
dimaksud ahsana pada ayat di atas
adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Perbuatan manusia bukanlah perbuatan
Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini
dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapatkan balasan atas
perbuatannya.
Selain
argumentasi naqliyah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi
rasional berikut ini.
a)
Kalau Allah menciptakan
perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan,
batallah taklif syar’i. Hal ini
karena syari’at adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b)
Kalau manusia tidak
bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang
muncul dari konsep faham al-wa’d wa
al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak
dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau
celaan.
c)
Kalau manusia tidak
mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para Nabi tidak ada gunanya sama
sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi
kebebasan pilihan?
Konsekuensi
lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam
penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i. ajal inilah yang
dipandang Mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun
jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya
membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal
yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
4.
Aliran
Asy-‘ariyah
Dalam
faham Asy’ariyah, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan
anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran
ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah. Untuk
menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari pendiri faham Asy-‘ariyah memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan
sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang
diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib
ang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan,
sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen
yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
ª!$#ur
ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ
Artinya:
“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Wa ma ta’malun
pada ayat di atas diartikan Al-Asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa
yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan
kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy-‘ari yang
mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Pada
prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan
oleh Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya.
Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri
manusia, daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah
ciptaan Allah dan merupakan kasb
(perolehan) bagi manusia.
5.
Aliran
Maturidiyah
Menurut
Maturidiyah Samarkand kehendak dan daya berbuat pada diri manusia adalah
kehendak dan daya manusia dalam arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti
kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak
diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya manusia
dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas daya manusia dalam faham Mu’tazilah.
Menurut
Maturidiyah Bukhara untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia
tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat
mencipta, dan manusia hanya mampu melakukan perbuatan yang telah diciptakan
Tuhan baginya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berbagai
aliran dalam ilmu kalam berpendapat tentang perbuatan Tuhan (aliran Mu’tazilah,
Asy’ariyah, dan Maturidiyah) dan perbuatan manusia (aliran Jabariyah,
Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah).
Allah
SWT pastilah melakukan perbuatan, dengan bukti adanya alam semesta beserta
isinya. Tetapi apabila dikatakan bahwa Allah memiliki kewajiban; kewajiban apa?
Dan kewajiban terhadap siapa?. Allah SWT Maha Berkehendak, Allah SWT dapat
melakukan apapun sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, Allah SWT tidak
memiliki kewajiban apapun dan kewajiban terhadap siapapun. Manusialah yang
memiliki kewajiban untuk taat dan patuh kepada Allah. Segala perbuatan yang dilakukan
manusia harus sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT. Baik dan buruk
perbuatan yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
B.
Saran
Semoga
makalah ini bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca. Taatilah segala perintah Allah dan jauhi larangannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Rozak,
Abdul dan Rosihon Anwar. (2003). Ilmu
Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
……………………………………
(2011). Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar