FC Barcelona
PENGETAHUAN BAGI ISLAM BAGAIKAN RUH (NYAWA) BAGI MANUSIA (MUHAMMAD AL GHAZALI (1970), KHULUQUL MUSLIM: 445).

Jumat, 23 September 2016

MAKALAH ILMU KALAM: PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN: PERBUATAN TUHAN DAN PERBUATAN MANUSIA

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Ilmu Tauhid (ilmu kalam) merupakan disiplin ilmu keislaman yang mengedepankan pembicaraan tentang persoalan-persoalan kalam Tuhan. Persoalan-pesoalan kalam ini biasanya mengarah pada perbincangan yang mendalam dengan dasar argumen-argumen baik secara rasional (aqliyah) maupun secara tradisional (naqliyah). Yang dimaksud argumen secara aqliyah adalah landasan pemahaman yang cenderung menggunakan metode berpikir filosofis, sedangkan argumentasi naqliyah biasanya berdasarkan pada argumentasi berupa dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Dampak dari ilmu kalam ini juga melahirkan banyak aliran, banyak perbedaan pemikiran tentang perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Mengenai perbedaan ini, akan dibahas dalam makalah ini.
B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, maka penulis membuat rumusan sebagai berikut:
1.             Bagaimanakah pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan Tuhan?
2.             Bagaimanakah pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan manusia?
C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan yang disusun dalam makalah ini adalah untuk memaparkan tentang:
1.             Memahami pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan Tuhan.
2.             Memahami pandangan aliran-aliran dalam Islam tentang perbuatan manusia.
D.      Manfaat Penulisan
Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana pandangan dari berbagai aliran ilmu kalam mengenai perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia.













BAB II
PEMBAHASAN MATERI
A.    Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa Tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang sebagai konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Ada tiga aliran besar (Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah) dalam ilmu kalam dalam pandangannya tentang perbuatan Tuhan ini.
1.      Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah sebagai aliran kalam bercorak rasional berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun, ini tidak berarti Tuhan tidak dapat melakukan perbuatan yang buruk. Tuhan tidak melakukan perbuatan buruk karena Tuhan mengetahui keburukan dari perbuatan itu. Di dalam Al-Qur’an pun jelas dikatakan bahwa Tuhan tidaklah berbuat zalim. Ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan dalil oleh Mu’tazilah untuk mendukung pendapatnya di atas adalah surat Al-Anbiya [21]: 23 dan surat Ar-Rum [30]: 8.
Ÿw ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç ÇËÌÈ  
Artinya: “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai”.
öNs9urr& (#r㍩3xÿtGtƒ þÎû NÍkŦàÿRr& 3 $¨B t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»uK¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur !$yJåks]øŠt/ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 9@y_r&ur wK|¡B 3 ¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ĩ$¨Z9$# Ç!$s)Î=Î/ öNÎgÎn/u tbrãÏÿ»s3s9 ÇÑÈ  
Artinya: “Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya”.
Qadi Abd Al-Jabar seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut memberi petunjuk bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan Maha suci dari perbuatan yang buruk. Adapun ayat kedua menurut Al-Jabar mengandung petunjuk bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan melakukan perbuatan yang buruk.
Dasar pemikiran tersebut serta konsep tentang keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, mendorong kelompok Mu’tazilah untuk berpendapat bahwa Tuhan mempunyai kewajiban terhadap manusia. Kewajiban-kewajiban itu dapat disimpulkan menjadi satu hal, yaitu kewajiban berbuat baik kepada manusia. Faham kewajiban Tuhan berbuat baik, bahkan yang terbaik (ash-shalah wa al-ashlah) mengonsekuensikan aliran Mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Allah berikut ini.
a.    Kewajiban tidak memberikan beban diluar kemampuan manusia.
Memberi beban diluar kemampuan manusia (taklif ma la yutaq) adalah bertentangan dengan faham berbuat baik dan terbaik. Hal ini bertentangan dengan faham mereka tentang keadilan Tuhan. Tuhan akan bersifat tidak adil kalau Ia memberi beban yang terlalu berat kepada manusia.
b.    Kewajiban mengirimkan Rosul.
Bagi aliran Mu’tazilah dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahui hal-hal gaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasul kepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan. Argumentasi mereka adalah kondisi akal yang tidak dapat mengetahui setiap apa yang harus diketahui manusia tentang Tuhan dan alam gaib. Oleh karena itu, Tuhan berkewajiban berbuat yang baik dan terbaik bagi manusia dengan cara mengirim rasul. Tanpa rasul,  manusia tidak akan memperoleh hidup baik dan terbaik di dunia dan di akhirat nanti.
c.    Kewajiban menepati janji (al-wa’d) dan ancaman (al-wa’id).
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran Mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya, yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik; dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Selanjutnya keadaan tidak menepati janji dan tidak menjalankan ancaman bertentangan dengan maslahat dan kepentingan manusia. Oleh karena itu, menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.
2.      Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran Asy-‘ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan Al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak berkewajiban berbuat baik dan terbaik bagi manusia. Dengan demikian, aliran Asy-‘ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap mahluk. Sebagaimana dikatakan Al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (ja’iz) dan tidak satu pun darinya mempunyai sifat wajib.
Karena percaya pada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan tak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy-‘ariyah menerima faham pemberian beban diluar kemampuan manusia. Al-Asy’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam Al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tak dapat dipikul pada manusia. Al-Ghazali pun mengatakan hal ini dalam Al-Iqtisad.
Walaupun pengiriman rasul memiliki arti penting dalam teologi, aliran Asy-‘ariyah menolaknya sebagai kewajiban Tuhan. Hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Faham ini dapat membawa akibat yang tidak baik. Sekiranya Tuhan tidak mengutus rasul-rasul kepada umat manusia, hidup manusia akan mengalami kekacauan. Tanpa wahyu manusia tidak dapat membedakan perbuatan baik dan perbuatan buruk. Namun sesuai dengan faham Asy-‘ariyah tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, hal ini tidak menjadi permasalahan bagi teologi mereka. Tuhan berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya.Tuhan dalam faham aliran ini tidak berbuat untuk kepentingan manusia.
Karena tidak mengakui kewajiban Tuhan, aliran Asy-‘ariyah berpendapat bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam Al-Qur’an dan Hadits. Di sini timbul persoalan bagi Asy-‘ariyah karena dalam Al-Qur’an dikatakan dengan tegas bahwa siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab “man, alladzina” dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, diberi interpretasi oleh Al-Asy’ari, “bukan semua orang tapi sebagian”. Dengan demikian kata siapa dalam ayat “barangsiapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, maka sebenarnya ia menelan api masuk ke dalam perutnya”, mengandung arti bukan seluruh, tetapi sebagian orang yang berbuat demikian.
3.      Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand yang juga memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman rasul sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukahara memiliki pandangan yang sama dengan Asy-‘ariyah mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun sebagaimana dijelaskan Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berbuat dosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara tentang pengiriman rasul sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Samarkand memberi batasan pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan sehingga mereka menerima faham adanya kewajiban bagi Tuhan, sekurang-kurangnya kewajiban menepati janji tentang pemberian upah dan pemberian hukuman.
Mengenai memberikan beban kepada manusia diluar batas kemampuannya (taklif ma la yutaq), aliran Maturidiyah Bukhara menerimanya. Tuhan, kata Al-Badzawi, tidaklah mustahil meletakkan kewajiban-kewajiban yang tak dapat dipikulnya atas diri manusia. Sebaliknya aliran Maturidiyah Samarkand mengambil posisi yang dekat dengan Mu’tazilah. Menurut Syarh Al-Fiqh Al-Akbar, Al-Maturidi tidak setuju dengan pendapat aliran Asy-‘ariyah dalam hal ini karena Al-Qur’an mengatakan bahwa Tuhan tidak membebani manusia dengan kewajiban-kewajiban yang tak terpikul. Pemberian beban yang tak terpikul memang dapat sejalan dengan faham golongan Samarkand bahwa manusialah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dan bukan Tuhan.
Adapun mengenai pengiriman rasul, aliran Maturidiyah golongan Bukhara, sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mempunyai faham yang sama dengan aliran Asy-‘ariyah. Pengiriman rasul menurut mereka tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin. Sementara itu, pendapat aliran Maturidiyah Samarkand tentang persoalan ini dapat diketahui dari keterangan Al-Bayadi. Dalam isyarat Al-Maram, Al-Bayadi menjelaskan bahwa keumuman Maturidiyah sefaham dengan Mu’tazilah mengenai wajibnya pengiriman rasul.
Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancamanNya, aliran Maturidiyah Bukhara tidak sefaham dengan aliran Asy-‘ariyah. Menurut mereka, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Akan tetapi, bisa saja Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berdosa besar ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan.bukan tidak mungkin Tuhan memberi ampunan kepada seseorang, tetapi tidak memberi ampunan kepada orang lain sungguhpun dosanya sama.
Uraian Al-Badzawi ini mengandung arti bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik. Dengan demikian Tuhan memiliki kewajiban terhadap manusia. Pendapat ini berlawanan dengan pendapatnya yang dijelaskan sebelumnya bahwa Tuhan sekali-kali tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Menurut aliran Asy-‘ariyah sebagaimana diketahui, Tuhan boleh saja melanggar  janji-janji-Nya. Sebaliknya, menurut Maturidiyah golongan Bukhara, Tuhan tidak mungkin melanggar janji untuk memberi upah kepada orang yang berbuat baik.
B.     Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana oleh kelompok Jabariyah (pengikut Ja’d bin Dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Ad-Dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’tazilah, Asy‘ariyah dan Maturidiyah
1.      Aliran Jabariyah
Terdapat perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dan Jabariyah moderat dalam masalah perbuatan manusia. Jabariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya kalau seseorang mencuri itu bukanlah terjadi karena kehendak sendiri, tetapi timbul karena qada dan qadar Tuhan yang menghendaki demikian. Bahkan Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Adapun Jabariyah moderat mengatakan bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan di dalamnya. Tenaga yang ada dalam diri manusia mempunyai efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab. Menurut faham kasab manusia tidaklah majbur (dipaksa Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi manusia mempunyai perbuatan yang diciptakan oleh Tuhan.
2.      Aliran Qadariyah
Aliran Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Karena itu ia berhak mendaptkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, semua itu berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan.
Faham takdir yang dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang mengatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu, menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun dalam faham Qadariyah, takdir adalah ketentuan Allah yang diciptakannya untuk alam semesta beserta seluruh isinya, semenjak ajal, yaitu hukum dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat Al-Qur’an yang mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]: 29:
È@è%ur ,ysø9$# `ÏB óOä3În/§ ( `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 !$¯RÎ) $tRôtGôãr& tûüÏJÎ=»©à=Ï9 #·$tR xÞ%tnr& öNÍkÍ5 $ygè%ÏŠ#uŽß  4 bÎ)ur (#qèVŠÉótGó¡o (#qèO$tóム&ä!$yJÎ/ È@ôgßJø9$%x. Èqô±o onqã_âqø9$# 4 š[ø©Î/ Ü>#uŽ¤³9$# ôNuä!$yur $¸)xÿs?öãB ÇËÒÈ
Artinya: dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”.
3.      Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang manusia mempunyai daya yang besar dan bebas. Menurut Al-Juba’i dan Abd Al-Jabbra, manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya. Manusia sendirilah yang berbuat baik dan buruk. Kepatuhan dan ketaatan seseorang kepada Tuhan adalah atas kehendak dan kemauannya sendiri. Daya (al-istitha’ah) untuk mewujudkan kehendak terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan.
Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan pada diri manusia, tetapi manusia sendirilah yang mewujudkan perbuatannya. Mu’tazilah dengan tegas mengatakan bahwa daya juga berasal dari manusia. Daya yang terdapat dalam diri manusia adalah tempat terciptanya perbuatan. Tuhan tidak dilibatkan dalam perbuatan manusia. Aliran Mu’tazilah mengecam keras faham yang menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan perbuatan.
Dengan faham ini, aliran Mu’tazilah mengaku bahwa Tuhan sebagai pencipta awal, sedangkan manusia berperan sebagai pihak yang berkreasi untuk mengubah bentuknya. Aliran Mu’tazilah tidak mengingkari ilmu azali Allah yang mengetahui segala apa yang akan terjadi dan diperbuat manusia. Pendapat inilah yang membedakannya dari penganut Qadariyah murni.
Untuk membela fahamnya, aliran Mu’tazilah mengungkapkan ayat berikut:
üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ ÇÐÈ    
Artinya: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Yang dimaksud ahsana pada ayat di atas adalah semua perbuatan Tuhan adalah baik. Perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan, karena diantara perbuatan manusia terdapat perbuatan jahat. Dalil ini dikemukakan untuk mempertegas bahwa manusia akan mendapatkan balasan atas perbuatannya.
Selain argumentasi naqliyah di atas, aliran Mu’tazilah mengemukakan argumentasi rasional berikut ini.
a)             Kalau Allah menciptakan perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri tidak mempunyai perbuatan, batallah taklif syar’i. Hal ini karena syari’at adalah ungkapan perintah dan larangan yang merupakan thalab. Pemenuhan thalab tidak terlepas dari kemampuan, kebebasan, dan pilihan.
b)             Kalau manusia tidak bebas untuk melakukan perbuatannya, runtuhlah teori pahala dan hukuman yang muncul dari konsep faham al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman). Hal ini karena perbuatan itu menjadi tidak dapat disandarkan kepadanya secara mutlak sehingga berkonsekuensi pujian atau celaan.
c)             Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan dan pilihan, pengutusan para Nabi tidak ada gunanya sama sekali. Bukankah tujuan pengutusan itu adalah dakwah dan dakwah harus dibarengi kebebasan pilihan?
Konsekuensi lain dari faham di atas, Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia terlibat dalam penentuan ajal karena ajal itu ada dua macam, pertama, adalah al-ajal ath-thabi’i. ajal inilah yang dipandang Mu’tazilah sebagai kekuasaan mutlak Tuhan untuk menentukannya. Adapun jenis yang kedua adalah ajal yang dibikin manusia itu sendiri, misalnya membunuh seseorang, atau bunuh diri di tiang gantungan, atau minum racun. Ajal yang ini dapat dipercepat dan diperlambat.
4.      Aliran Asy-‘ariyah
Dalam faham Asy’ariyah, manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan faham Jabariyah daripada dengan faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya, Asy’ari pendiri faham Asy-‘ariyah memakai teori al-kasb (acquisition, perolehan). Teori al-kasb Asy’ari dapat dijelaskan sebagai berikut. Segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi muktasib ang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argumen yang diajukan oleh Al-Asy’ari untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”.
Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kamu buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy-‘ari yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Pada prinsipnya, aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia, daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan di sini adalah ciptaan Allah dan merupakan kasb (perolehan) bagi manusia.


5.      Aliran Maturidiyah
Menurut Maturidiyah Samarkand kehendak dan daya berbuat pada diri manusia adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata yang sebenarnya, bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya manusia dalam faham Al-Maturidi tidak sebebas daya manusia dalam faham Mu’tazilah.
Menurut Maturidiyah Bukhara untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanya Tuhanlah yang dapat mencipta, dan manusia hanya mampu melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.












BAB III
PENUTUP
A.           Kesimpulan
Berbagai aliran dalam ilmu kalam berpendapat tentang perbuatan Tuhan (aliran Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah) dan perbuatan manusia (aliran Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah).
Allah SWT pastilah melakukan perbuatan, dengan bukti adanya alam semesta beserta isinya. Tetapi apabila dikatakan bahwa Allah memiliki kewajiban; kewajiban apa? Dan kewajiban terhadap siapa?. Allah SWT Maha Berkehendak, Allah SWT dapat melakukan apapun sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, Allah SWT tidak memiliki kewajiban apapun dan kewajiban terhadap siapapun. Manusialah yang memiliki kewajiban untuk taat dan patuh kepada Allah. Segala perbuatan yang dilakukan manusia harus sesuai dengan yang diperintahkan Allah SWT. Baik dan buruk perbuatan yang dilakukan manusia akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak.
B.            Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi penulis dan juga pembaca. Taatilah  segala perintah Allah dan jauhi larangannya.






DAFTAR PUSTAKA
Rozak, Abdul dan Rosihon Anwar. (2003). Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.

…………………………………… (2011). Ilmu Kalam. Bandung: CV.  Pustaka Setia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar