FC Barcelona
PENGETAHUAN BAGI ISLAM BAGAIKAN RUH (NYAWA) BAGI MANUSIA (MUHAMMAD AL GHAZALI (1970), KHULUQUL MUSLIM: 445).

Jumat, 23 September 2016

Makalah Fikih: Perkawinan di bawah umur untuk membentuk keluarga sakinah

BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) menerangkan bahwa, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Kemudian dalam Pasal 7 Ayat (2) menerangkan bahwa, dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak wanita.
Kemudian dalam Undang-Undang Republik Indonesia Bab II Pasal 6 ayat (2) menerangkan bahwa, untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
Dari pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia secara lahir maupun batin.
Adapun batasan usia bagi pihak pria maupun wanita dalam Pasal 7 ayat (1) di atas, itu hanya bersifat anjuran, karena dalam pasal 7 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) usia bagi pihak pria maupun pihak wanita ketika kawin, bisa diartikan boleh di luar batasan tersebut dengan beberapa syarat tertentu.

B.       Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pandangan Islam terhadap perkawinan di bawah umur?
2.      Berapa batasan usia di bawah umur menurut Islam?
3.      Apakah bisa perkawinan di bawah umur membentuk keluarga yang sakinah?


C.       Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pandangan Islam tentang perkawinan di bawah umur.
2.      Untuk mengetahui batasan usia di bawah umur menurut Islam.
3.      Untuk mengetahui Apakah bisa perkawinan di bawah umur membentuk keluarga yang sakinah.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pandangan Islam Tentang Perkawinan di Bawah Umur.
Pada dasarnya, hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu. Firman Allah SWT.
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من عبادكم و إمآئكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله و الله واسع عليم
Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32).
Kata (الصالحين) dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin” yakni yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Begitu pula dengan hadits Rasulullah SAW, yang menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan perkawinan dengan syarat adanya kemampuan.
حدثنا عمر بن حفص بن غياث حدثنا الأعمش قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال دخلت مع علقمة و الأسود على عبد الله فقال عبد الله كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم شبابا لا نجد شيئا فقال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحسن للفرج و من لم يستطع فعليه بالصيام فإنه له وجاء (رواه البخاري)
Kami telah diceritakan dari Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami dari ayahku (Hafs bin Ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al A’masy dia berkata : “Telah menceritakan kepadaku dari ’Umarah dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata: “Aku masuk bersama ’Alqamah dan al Aswad ke (rumah) Abdullah, dia berkata: “Ketika aku bersama Nabi SAW dan para pemuda dan kami tidak menemukan yang lain, Rasulullah SAW bersabda kepada  kami: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang demikian itu dapat mengendalikan hawa nafsu.” (HR. Bukhari).
Secara tidak langsung, Al-Qur’an dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu tanda-tanda  baligh secara umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima belas) tahun bagi pria,  ihtilam bagi pria dan  haid pada wanita minimal pada umur 9 (sembilan) tahun.
Dengan terpenuhinya kriteria  baligh maka telah memungkinkan seseorang melangsungkan perkawinan. Sehingga kedewasaan seseorang dalam Islam sering diidentikkan dengan baligh.
Apabila terjadi kelainan atau keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga pada usia yang biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tanda-tanda kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang lazim seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia baligh antara seorang dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan sebagainya.
Ukuran kedewasaan yang diukur dengan kriteria  baligh ini tidak bersifat kaku (relatif). Artinya, jika secara kasuistik memang sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai perwujudan metode  sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya mudharat yang lebih besar.
Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan Hanabilah menyatakan bahwa:
و قال الشافعية و الحنابلة أن البلوغ بالسن يتحقق بخمس عشرة سنة في الغلام و الحارية
Anak laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15 tahun.
Ulama Hanafiyyah menetapkan  usia seseorang dianggap  baligh sebagai berikut:

و قال الحنفية ثمان عشرة في الغلام و سبع عشرة في الجارية
Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak perempuan.
Sedangkan ulama dari golongan Imamiyyah menyatakan :
و قال الإمامية خمس عشرة في الغلام و تسع في الجارية
Anak laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.
Terhadap anak perempuan yang berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9 tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum  baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.
Mengingat, perkawinan merupakan akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Perkawinan sebagai salah satu bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz), baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru  bisa dibebani hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif yang ditujukan kepadanya. Jadi penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.
Terkait dengan prinsip kedewasaan dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan secara rinci namun lebih banyak membahas tentang hukum mengawinkan anak yang masih kecil.
Perkawinan anak yang masih kecil dalam fiqh disebut nikah ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj al mubakkir. Shaghir/shaghirah secara literal berarti kecil. Akan tetapi yang dimaksud dengan shaghir/shaghirah adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh.
Perkawinan di bawah umur tidak lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.
Seorang ayah bisa mengawinkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia telah  baligh. Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil.
Meskipun demikian, seorang anak perempuan tidak langsung dapat disenggamai oleh suaminya jika masih terlalu kecil sehingga dia cukup dewasa untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.
Ulama yang membolehkan wali untuk mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur ini pada umumnya berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Siti ‘Aisyah ra. dengan Rasulullah SAW.
حدثنا يحيى بن يحيى و اسحق و ابراهيم و ابو بكر و ابو كريب قال يحيى و اسحق أخبرنا و قال الآخران حدثنا ابو معاوية عن الأعمش عن الأسود عن عائشة قالت تزوجها رسول الله صلى الله عليه و سلم و هي بنت ست و بنى بها و هي بنت تسع و مات عنها و هي بنت ثمان عشرة (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepadaku Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib. Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari al A’masyi dari al Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6 tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku 18 tahun.” (HR. Muslim).
Abu Bakar ra. telah mengawinkan ‘Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap sempurna. Namun, mengenai perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW, sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah SAW dibolehkan beristeri lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa perkawinan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan kebebasan bagi Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW. Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau kakek tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama’ Syafi’iyyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah umur disyaratkan adanya kemashlahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk anak perempuan diperlukan beberapa syarat antara lain:
1. Tidak ada permusuhan yang nyata antara si anak perempuan dengan walinya yaitu ayahnya atau kakeknya.
2. Tidak ada permusuhan (kebencian) yang nyata antara dia dan calon suaminya.
3. Calon suami harus kufu (sesuai/setara).
4.  Calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas.
Ibn Syubrumah memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan untuk dikawinkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit.
Firman Allah SWT :
و ابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن أنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. (QS. An Nisa : 6).
Perkawinan di bawah umur tidak dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan. Mereka dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus dipikul dalam kehidupan sebagai suami  istri terutama dalam pengelolaan keuangan rumah tangga.
Sedangkan bagi anak perempuan kecil yang sudah janda (baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai) maka walinya tidak boleh mengawinkannya kembali, demikian pula bagi orang lain (wali selain ayah) untuk mengawinkannya sampai ia  baligh. Jadi, anak kecil yang sudah janda kedudukannya sama dengan janda yang telah dewasa yaitu ia memberikan izin saat akan dikawinkan.
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا سفيان عن زياد بن سعد عن عبد الله ابن الفضل سمع نافع بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما ان النبي صلى الله عليه و سلم قال الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأمر و إذنها سكوتها (رواه مسلم)
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa’ad dari Abdillah ibn Al Fadhli: Telah mendengar Nafi’ bin Jabir dengan khabar dari Ibnu ‘Abbas ra. bahwasanya Nabi SAW telah bersabda : Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya dan perawan harus dengan izinnya dan izinnya ialah diamnya. (HR. Muslim).
Majelis Ulama’ Indonesia memberikan fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima hak (ahliyatul ada’ dan ahliyyatul wujub).
Ahliyyatul Ada’ adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat positif maupun negatif. 
Ahliyyatul Wujub adalah sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.

B.     Keluarga/Rumah Tangga yang Sakinah
Memiliki keluarga yang sakinah atau harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami istri, akan tetapi untuk mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Di tengah arus kehidupan seperti sekarang ini, jangankan untuk membangun rumah tangga yang sakinah, untuk dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga saja sudah merupakan sebuah prestasi. Sudah saatnya bagi kita semua untuk merenunginya, melakukan refleksi diri, apakah kita sudah berjalan pada koridor yang diinginkan oleh Allah dalam menjalankan kehidupan berumah tangga ataukah belum.
Agama Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar keluarga dijadikan sebagai institusi yang aman, nyaman, bahagia dan kukuh bagi setiap ahli keluarga. Al Quran dan Hadits merupakan landasan bagi terbentuknya sebuah keluarga yang sakinah termasuk dalam hal mengatasi setiap permasalahan yang timbul. Berdasarkan hadits Nabi SAW, ada 5 pilar utama untuk dapat mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah, diantaranya adalah:
1. Memiliki kecenderungan terhadap agama,
2. Saling menghormati dan menyayangi,
3. Sederhana dalam berbelanja,
4. Santun dalam bergaul,
5. Selalu instropeksi diri.
Lalu bagaimana cara atau tips membangun keluarga sakinah? Berikut diantaranya:
1. Memilih suami atau istri dengan kriteria yang tepat. Dalam memilih pasangan kriteria yang tepat sangatlah penting, misalnya beragama Islam, shaleh atau shalehah, berasal dari keturunan baik-baik, berakhlak mulia dsb.
2. Memenuhi syarat utama dalam keluarga yaitu ‘mawaddah’ (cinta yang membara dan menggebu) dan ‘rahmah’ (kasih sayang yang lembut, siap berkorban dan melindungi kepada yang dikasihi).
3. Saling mengerti atau memahami antara suami dan istri. Saling mengerti dan memahami serta menghindari aksi egoisme sangat penting dalam membina sebuah keluarga.
4. Saling menerima kelebihan serta kekurangan masing-masing. Anda tentu tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, demikian pula dengan pasangan anda. Ketika Anda dan pasangan telah berkomitmen untuk membangun hubungan maka anda dan pasangan harus siap menerima kelebihan dan kekrangan masing-masing.
5. Saling menghargai satu sama lain. Penghargaan terhadap pasangan adalah hal yang penting, karena setiap manusia itu pasti memiliki kelebihan.
6. Saling mempercayai antara suami dan istri. Kepercayaan merupakan salah satu faktor yang memberikan ketenangan terhadap satu sama lain.
7. Mengerti dan dengan sukarela menjalankan kewajiban masing-masing.
8. Hubungan harus didasari perasaan saling membutuhkan. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
Mengenai bisa atau tidaknya perkawinan di bawah umur membentuk keluarga yang sakinah, hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan pernikahannya bersama Siti ‘Aisyah. Dan terbukti kehidupan keluarga mereka berdua dapat terjalin dengan rukun dan dipenuhi oleh rasa cinta dan kasih sayang di antara mereka.






BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Syarat-syarat Perkawinan, batasan usia bagi pihak pria maupun wanita dalam Pasal 7 ayat (1) di atas, itu hanya bersifat anjuran, karena dalam pasal 7 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) usia bagi pihak pria maupun pihak wanita ketika kawin, bisa diartikan boleh di luar batasan tersebut dengan beberapa syarat tertentu.
Pada dasarnya, hukum Islam tidak mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang yang siap dan mampu.
Agama Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar keluarga dijadikan sebagai institusi yang aman, nyaman, bahagia dan kukuh bagi setiap ahli keluarga. Al Quran dan Hadits merupakan landasan bagi terbentuknya sebuah keluarga yang sakinah termasuk dalam hal mengatasi setiap permasalahan yang timbul.

B.     Saran
Untuk mendapatkan kehidupan keluarga yang sakinah, maka Al-Qur’an dan Al-hadits harus dijadikan landasan dalam membina kehidupan di dalam rumah tangga. Jadikanlah Rasulullah SAW sebagai figur teladan dalam membina kehidupan rumah tangga.



DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Dasar Perkawinan) Pasal 1.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II. Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 6 ayat (2).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab II.  Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2).
Rasjid, Sulaiman. 2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar Baru Algensindo.



[1] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Dasar Perkawinan Pasal 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar