BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.[1]
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Bab II Tentang Syarat-Syarat Perkawinan Pasal
7 Ayat (1) menerangkan bahwa, Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah
mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun. Kemudian dalam Pasal 7 Ayat (2) menerangkan bahwa, dalam
hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan
atau pejabat lain, yang ditunjuk oleh kedua orangtua pihak pria maupun pihak
wanita.
Kemudian dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Bab II Pasal 6 ayat (2) menerangkan bahwa,
untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun harus mendapat izin kedua orangtua.
Dari
pasal-pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga yang bahagia secara lahir maupun batin.
Adapun batasan
usia bagi pihak pria maupun wanita dalam Pasal 7 ayat (1) di atas, itu hanya
bersifat anjuran, karena dalam pasal 7 ayat (2) dan Pasal 6 ayat (2) usia bagi pihak
pria maupun pihak wanita ketika kawin, bisa diartikan boleh di luar batasan
tersebut dengan beberapa syarat tertentu.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana pandangan Islam terhadap perkawinan di bawah
umur?
2. Berapa batasan usia di bawah umur menurut Islam?
3. Apakah bisa perkawinan di bawah umur membentuk keluarga
yang sakinah?
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pandangan Islam tentang perkawinan di
bawah umur.
2. Untuk mengetahui batasan usia di bawah umur menurut Islam.
3. Untuk
mengetahui Apakah bisa perkawinan di
bawah umur membentuk keluarga yang sakinah.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pandangan Islam Tentang Perkawinan di Bawah Umur.
Pada dasarnya, hukum Islam tidak
mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan
agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan
diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an
mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang
yang siap dan mampu. Firman Allah SWT.
و انكحوا الأيامى منكم و الصالحين من
عبادكم و إمآئكم إن يكونوا فقراء يغنهم الله من فضله و الله واسع عليم
“Dan kawinkanlah orang-orang
yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah
Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur : 32).
Kata (الصالحين) dipahami oleh banyak ulama dalam arti “yang layak kawin” yakni
yang mampu secara mental dan spiritual untuk membina rumah tangga. Begitu pula
dengan hadits Rasulullah SAW, yang menganjurkan kepada para pemuda untuk melangsungkan
perkawinan dengan syarat adanya kemampuan.
حدثنا عمر بن حفص بن غياث حدثنا الأعمش
قال حدثني عمارة عن عبد الرحمن بن يزيد قال دخلت مع علقمة و الأسود على عبد الله
فقال عبد الله كنا مع النبي صلى الله عليه و سلم شبابا لا نجد شيئا فقال لنا رسول
الله صلى الله عليه و سلم يا معشر الشباب من استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض
للبصر و أحسن للفرج و من لم يستطع فعليه بالصيام فإنه له وجاء (رواه البخاري)
“Kami telah diceritakan dari
Umar bin Hafs bin Ghiyats, telah menceritakan kepada kami dari ayahku (Hafs bin
Ghiyats), telah menceritakan kepada kami dari al A’masy dia berkata : “Telah
menceritakan kepadaku dari ’Umarah dari Abdurrahman bin Yazid, dia berkata:
“Aku masuk bersama ’Alqamah dan al Aswad ke (rumah) Abdullah, dia berkata:
“Ketika aku bersama Nabi SAW dan para pemuda dan kami tidak menemukan yang
lain, Rasulullah SAW bersabda kepada kami: “Wahai para pemuda, barang
siapa di antara kamu telah mampu berumah tangga, maka kawinlah, karena kawin
dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum
mampu, maka hendaklah berpuasa, maka sesungguhnya yang demikian itu dapat
mengendalikan hawa nafsu.” (HR. Bukhari).
Secara tidak langsung, Al-Qur’an
dan Hadits mengakui bahwa kedewasaan sangat penting dalam perkawinan. Usia
dewasa dalam fiqh ditentukan dengan tanda-tanda yang bersifat jasmani yaitu
tanda-tanda baligh secara umum antara lain, sempurnanya umur 15 (lima
belas) tahun bagi pria, ihtilam bagi pria dan haid pada wanita
minimal pada umur 9 (sembilan) tahun.
Dengan terpenuhinya kriteria
baligh maka telah memungkinkan seseorang melangsungkan perkawinan. Sehingga kedewasaan seseorang dalam
Islam sering diidentikkan dengan baligh.
Apabila terjadi kelainan atau
keterlambatan pada perkembangan jasmani (biologis)nya, sehingga pada usia yang
biasanya seseorang telah mengeluarkan air mani bagi pria atau mengeluarkan
darah haid bagi wanita tetapi orang tersebut belum mengeluarkan tanda-tanda
kedewasaan itu, maka mulai periode balighnya berdasarkan usia yang lazim
seseorang mengeluarkan tanda-tanda baligh. Mulainya usia baligh antara seorang
dengan orang lain dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan, geografis dan
sebagainya.
Ukuran kedewasaan yang diukur
dengan kriteria baligh ini tidak bersifat kaku (relatif). Artinya, jika secara kasuistik memang
sangat mendesak kedua calon mempelai harus segera dikawinkan, sebagai
perwujudan metode sadd al-zari’ah untuk menghindari kemungkinan timbulnya
mudharat yang lebih besar.
Para ulama berbeda pendapat dalam
menetapkan batasan umur bagi orang yang dianggap baligh. Ulama Syafi'iyyah dan
Hanabilah menyatakan bahwa:
و قال الشافعية و الحنابلة أن البلوغ
بالسن يتحقق بخمس عشرة سنة في الغلام و الحارية
“Anak
laki-laki dan anak perempuan dianggap baligh apabila telah menginjak usia 15
tahun.”
Ulama Hanafiyyah menetapkan
usia seseorang dianggap baligh sebagai berikut:
و قال الحنفية ثمان عشرة في الغلام و سبع
عشرة في الجارية
“Anak
laki-laki dianggap baligh bila berusia 18 tahun dan 17 tahun bagi anak
perempuan.”
Sedangkan ulama dari golongan
Imamiyyah menyatakan :
و
قال الإمامية خمس عشرة في الغلام و تسع في الجارية
“Anak
laki-laki dianggap baligh bila berusia 15 tahun dan 9 tahun bagi anak perempuan.”
Terhadap anak perempuan yang
berusia 9 tahun, maka terdapat dua pendapat. Pertama, Imam Malik, Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa anak perempuan yang berusia 9
tahun hukumnya sama seperti anak berusia 8 tahun sehingga dianggap belum
baligh. Kedua, ia dianggap telah baligh karena telah memungkinkan untuk
haid sehingga diperbolehkan melangsungkan perkawinan meskipun tidak ada hak
khiyar baginya sebagaimana dimiliki oleh wanita dewasa.
Mengingat, perkawinan merupakan
akad/perjanjian yang sangat kuat (miitsaqan ghalizan) yang menuntut setiap
orang yang terikat di dalamnya untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing
dengan penuh keadilan, keserasian, keselarasan dan keseimbangan.
Perkawinan sebagai salah satu
bentuk pembebanan hukum tidak cukup hanya dengan mensyaratkan baligh (cukup
umur) saja. Pembebanan hukum (taklif) didasarkan pada akal (aqil, mumayyiz),
baligh (cukup umur) dan pemahaman. Maksudnya seseorang baru bisa dibebani
hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik terhadap taklif
yang ditujukan kepadanya. Jadi
penulis lebih sepakat bahwa syarat calon mempelai adalah mukallaf.
Terkait dengan prinsip kedewasaan
dalam perkawinan, para ulama cenderung tidak membahas batasan usia perkawinan
secara rinci namun lebih banyak membahas tentang hukum mengawinkan anak yang
masih kecil.
Perkawinan anak yang masih kecil
dalam fiqh disebut nikah ash shaghir/shaghirah atau az-zawaj al mubakkir.
Shaghir/shaghirah secara literal berarti kecil. Akan tetapi yang dimaksud
dengan shaghir/shaghirah adalah laki-laki/perempuan yang belum baligh.
Perkawinan di bawah umur tidak
lepas dari hak ijbar yaitu hak wali (ayah/kakek) mengawinkan anak perempuannya
tanpa harus mendapatkan persetujuan atau izin terlebih dahulu dari anak
perempuan yang akan dikawinkan tersebut, asal saja ia bukan berstatus janda.
Seorang ayah bisa mengawinkan anak
perempuannya yang masih kecil dan perawan selama belum baligh tanpa izinnya dan
tidak ada hak khiyar bagi anak perempuan itu jika dia telah baligh.
Sebaliknya, ayah tidak boleh mengawinkan anak laki-lakinya yang masih kecil.
Meskipun demikian, seorang anak
perempuan tidak langsung dapat disenggamai oleh suaminya jika masih terlalu
kecil sehingga dia cukup dewasa untuk melakukan hubungan layaknya suami isteri.
Ulama yang membolehkan wali untuk
mengawinkan anak perempuannya yang masih di bawah umur ini pada umumnya
berlandaskan pada riwayat bahwa Abu Bakar ra. mengawinkan Siti ‘Aisyah ra.
dengan Rasulullah SAW.
حدثنا يحيى بن يحيى و اسحق و ابراهيم و
ابو بكر و ابو كريب قال يحيى و اسحق أخبرنا و قال الآخران حدثنا ابو معاوية عن
الأعمش عن الأسود عن عائشة قالت تزوجها رسول الله صلى الله عليه و سلم و هي بنت ست
و بنى بها و هي بنت تسع و مات عنها و هي بنت ثمان عشرة (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepadaku
Yahya bin Yahya, Ishaq bin Ibrahim, Abu Bakar bin Abi Syaibah dan Abu Karib.
Yahya dan Ishaq telah berkata : Telah menceritakan kepada kami dan berkata
al Akhrani : Telah menceritakan kepadaku Abu Mu’awiyah dari al A’masyi dari al
Aswad dari ‘Aisyah ra. berkata : Rasulullah SAW mengawiniku pada saat usiaku 6
tahun dan hidup bersama saya pada usiaku 9 tahun dan beliau wafat saat usiaku
18 tahun.” (HR.
Muslim).
Abu Bakar ra. telah mengawinkan
‘Aisyah dengan Rasulullah SAW sewaktu masih anak-anak tanpa persetujuannya
lebih dahulu. Sebab pada umur demikian persetujuannya tidak dapat dianggap
sempurna. Namun, mengenai perkawinan ‘Aisyah ra. dengan Nabi Muhammad SAW,
sebagian ulama berpendapat bahwa hal itu merupakan perkecualian atau kekhususan
bagi Rasulullah SAW sendiri sebagaimana Rasulullah SAW dibolehkan beristeri
lebih dari empat orang yang tidak boleh diikuti oleh umatnya.
Pendapat lain menyatakan bahwa
perkawinan Rasulullah SAW dengan ‘Aisyah lebih bermotif dakwah dan memberikan
kebebasan bagi Abu Bakar ra. memasuki rumah tangga Rasulullah SAW. Walaupun demikian, hak ijbar ayah atau
kakek tidak serta merta dapat dilaksanakan dengan sekehendak sendiri. Ulama’
Syafi’iyyah mengatakan bahwa untuk bisa mengawinkan anak laki-laki di bawah
umur disyaratkan adanya kemashlahatan (kepentingan yang baik). Sedangkan untuk
anak perempuan diperlukan beberapa syarat antara lain:
1. Tidak ada permusuhan yang
nyata antara si anak perempuan dengan walinya yaitu ayahnya atau kakeknya.
2. Tidak ada permusuhan
(kebencian) yang nyata antara dia dan calon suaminya.
3. Calon suami harus kufu
(sesuai/setara).
4. Calon suami mampu
memberikan maskawin yang pantas.
Ibn Syubrumah memiliki pandangan
yang berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Beliau berpandangan
bahwa anak laki-laki ataupun anak perempuan di bawah umur tidak dianjurkan
untuk dikawinkan. Mereka hanya boleh dikawinkan setelah mencapai usia baligh
dan melalui persetujuan yang berkepentingan secara eksplisit.
Firman Allah SWT :
و ابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح
فإن أنستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم
“Dan ujilah anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta) maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya”.
(QS. An Nisa : 6).
Perkawinan di bawah umur tidak
dianjurkan mengingat mereka dianggap belum memiliki kemampuan untuk mengelola
harta (rusyd). Selain itu, mereka juga belum membutuhkan perkawinan.
Mereka dikhawatirkan tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban yang harus
dipikul dalam kehidupan sebagai suami istri terutama dalam pengelolaan
keuangan rumah tangga.
Sedangkan bagi anak perempuan kecil
yang sudah janda (baik karena ditinggal mati suaminya atau bercerai) maka
walinya tidak boleh mengawinkannya kembali,
demikian pula bagi orang lain (wali selain ayah) untuk mengawinkannya sampai
ia baligh. Jadi, anak kecil
yang sudah janda kedudukannya sama dengan janda yang telah dewasa yaitu ia
memberikan izin saat akan dikawinkan.
حدثنا قتيبة بن سعيد حدثنا سفيان عن زياد
بن سعد عن عبد الله ابن الفضل سمع نافع بن جبير عن ابن عباس رضي الله عنهما ان
النبي صلى الله عليه و سلم قال الثيب أحق بنفسها من وليها و البكر تستأمر و إذنها
سكوتها (رواه مسلم)
“Telah menceritakan kepada kami
Qutaibah bin Sa’id: Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Ziyad bin Sa’ad
dari Abdillah ibn Al Fadhli: Telah mendengar Nafi’ bin Jabir dengan khabar dari
Ibnu ‘Abbas ra. bahwasanya Nabi SAW telah bersabda : Seorang janda lebih berhak
atas dirinya daripada walinya dan perawan harus dengan izinnya dan izinnya
ialah diamnya”.
(HR. Muslim).
Majelis Ulama’ Indonesia memberikan
fatwa bahwa usia kelayakan perkawinan adalah usia kecakapan berbuat dan menerima
hak (ahliyatul ada’ dan ahliyyatul wujub).
Ahliyyatul Ada’
adalah sifat kecakapan bertindak hukum seseorang yang telah dianggap sempurna
untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya baik perbuatan yang bersifat
positif maupun negatif.
Ahliyyatul Wujub adalah
sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya dan belum
cakap untuk dibebani seluruh kewajiban.
B. Keluarga/Rumah Tangga yang Sakinah
Memiliki keluarga yang sakinah atau harmonis merupakan dambaan setiap pasangan suami istri,
akan tetapi untuk mewujudkannya bukanlah hal yang mudah. Di tengah arus
kehidupan seperti sekarang ini, jangankan untuk membangun rumah tangga yang
sakinah, untuk dapat mempertahankan keutuhan rumah tangga saja sudah merupakan
sebuah prestasi. Sudah saatnya bagi kita semua untuk merenunginya, melakukan
refleksi diri, apakah kita sudah berjalan pada koridor yang diinginkan oleh
Allah dalam menjalankan kehidupan berumah tangga ataukah belum.
Agama Islam senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar
keluarga dijadikan sebagai institusi yang aman, nyaman, bahagia dan kukuh bagi
setiap ahli keluarga. Al Quran dan Hadits merupakan landasan bagi terbentuknya
sebuah keluarga yang sakinah termasuk dalam hal mengatasi setiap permasalahan
yang timbul. Berdasarkan hadits Nabi SAW, ada 5 pilar utama untuk dapat
mewujudkan sebuah keluarga yang sakinah, diantaranya adalah:
1. Memiliki
kecenderungan terhadap agama,
2. Saling menghormati dan menyayangi,
3. Sederhana dalam berbelanja,
4. Santun dalam bergaul,
5. Selalu instropeksi diri.
2. Saling menghormati dan menyayangi,
3. Sederhana dalam berbelanja,
4. Santun dalam bergaul,
5. Selalu instropeksi diri.
Lalu bagaimana cara atau tips membangun keluarga
sakinah? Berikut diantaranya:
1. Memilih suami atau istri dengan kriteria yang
tepat. Dalam memilih pasangan kriteria yang tepat sangatlah penting, misalnya
beragama Islam, shaleh atau shalehah, berasal dari keturunan baik-baik,
berakhlak mulia dsb.
2. Memenuhi syarat utama dalam keluarga yaitu
‘mawaddah’ (cinta yang membara dan menggebu) dan ‘rahmah’ (kasih sayang yang
lembut, siap berkorban dan melindungi kepada yang dikasihi).
3. Saling mengerti atau memahami antara suami
dan istri. Saling mengerti dan memahami serta menghindari aksi egoisme sangat
penting dalam membina sebuah keluarga.
4. Saling menerima kelebihan serta kekurangan
masing-masing. Anda tentu tahu bahwa tidak ada manusia yang sempurna, demikian
pula dengan pasangan anda. Ketika Anda dan pasangan telah berkomitmen untuk
membangun hubungan maka anda dan pasangan harus siap menerima kelebihan dan
kekrangan masing-masing.
5. Saling menghargai satu sama lain. Penghargaan
terhadap pasangan adalah hal yang penting, karena setiap manusia itu pasti
memiliki kelebihan.
6. Saling mempercayai antara suami dan istri. Kepercayaan
merupakan salah satu faktor yang memberikan ketenangan terhadap satu sama lain.
7. Mengerti dan dengan sukarela menjalankan
kewajiban masing-masing.
8. Hubungan harus didasari perasaan saling
membutuhkan. Tidak ada manusia yang bisa memenuhi kebutuhannya sendiri, karena
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk sosial.
Mengenai bisa atau tidaknya perkawinan di bawah umur
membentuk keluarga yang sakinah, hal ini pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW
dengan pernikahannya bersama Siti ‘Aisyah. Dan terbukti kehidupan keluarga
mereka berdua dapat terjalin dengan rukun dan dipenuhi oleh rasa cinta dan
kasih sayang di antara mereka.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor I
Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Syarat-syarat Perkawinan, batasan usia bagi pihak pria maupun wanita dalam Pasal 7
ayat (1) di atas, itu hanya bersifat anjuran, karena dalam pasal 7 ayat (2) dan
Pasal 6 ayat (2) usia bagi pihak pria maupun pihak wanita ketika kawin, bisa
diartikan boleh di luar batasan tersebut dengan beberapa syarat tertentu.
Pada dasarnya, hukum Islam tidak
mengatur secara mutlak tentang batas umur perkawinan. Tidak adanya ketentuan
agama tentang batas umur minimal dan maksimal untuk melangsungkan perkawinan
diasumsikan memberi kelonggaran bagi manusia untuk mengaturnya. Al-Qur’an
mengisyaratkan bahwa orang yang akan melangsungkan perkawinan haruslah orang
yang siap dan mampu.
Agama Islam
senantiasa mengajarkan kepada umatnya agar keluarga dijadikan sebagai institusi
yang aman, nyaman, bahagia dan kukuh bagi setiap ahli keluarga. Al Quran dan
Hadits merupakan landasan bagi terbentuknya sebuah keluarga yang sakinah
termasuk dalam hal mengatasi setiap permasalahan yang timbul.
B. Saran
Untuk mendapatkan
kehidupan keluarga yang sakinah, maka Al-Qur’an dan Al-hadits harus dijadikan
landasan dalam membina kehidupan di dalam rumah tangga. Jadikanlah Rasulullah
SAW sebagai figur teladan dalam membina kehidupan rumah tangga.
DAFTAR
PUSTAKA
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Dasar
Perkawinan) Pasal 1.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bab II. Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 6 ayat (2).
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Bab II. Syarat-Syarat Perkawinan Pasal 7
Ayat (1) dan Ayat (2).
Rasjid, Sulaiman.
2010. Fiqih Islam. Bandung: Sinar
Baru Algensindo.
http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/02/batas-umur-perkawinan-menurut-hukum.html. Diunduh 31 Desember 2015 pada jam 20:56.
https://hijapedia.com/bagaimanakah-cara-membangun-keluarga-sakinah-menurut-islam/. Diunduh 31 Desember 2015 pada jam 21:29.
[1] Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor I Tahun 1974 Tentang Perkawinan Bab I. Dasar Perkawinan Pasal
1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar