FC Barcelona
PENGETAHUAN BAGI ISLAM BAGAIKAN RUH (NYAWA) BAGI MANUSIA (MUHAMMAD AL GHAZALI (1970), KHULUQUL MUSLIM: 445).

Jumat, 23 September 2016

Makalah Filsafat Pendidikan Islam: Hakikat Pendidikan Islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pada dasarnya, Ilmu Pendidikan Islam membahas berbagai komponen pendidikan, antara lain meliputi misi, tujuan, kurikulum, dan proses belajar mengajar secara sistematik, objektif, dan komprehensif. Semua hal pokok yang dipelajari ini didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits serta hal-hal praktis dalam sejarah Islam.
Islam mewajibkan kaum muslimin dan muslimat menuntut ilmu sejak dari buaian sampai liang lahad, karena orang yang berilmu di masyarakat menduduki derajat yang tinggi, sedangkan yang tidak berilmu menduduki derajat yang rendah.
Eksistensi ilmu pendidikan Islam sangat mungkin untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai satu disiplin keilmuan dalam kelompok ilmu-ilmu sosial dalam Islam. Islam itu sendiri tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, melainkan juga manusia dengan masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, hukum, budaya, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Hakikat Islam dari prinsip dasar sampai bagian-bagiannya bukanlah hanya tata cara peribadatan yang berpindah-pindah dari nenek moyang terus turun temurun, atau berupa jampi-jampi yang disebarkan secara persaan dengan dugaan-dugaan, tetapi hakikat Islam bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang metoda dan teknis pengumpulan Al-Qur’an bukanlah tergantung kepada pembacaan dan hafalan orang seorang saja, tetapi dihimpun berdasarkan beberapa sahabat yang tergolong Al-Hafizh, ulama, dan cerdik pandai yang memiliki daya fikir yang matang dan memahami sesuatu yang benar dengan gaya bahasa yang mempunyai dasar tujuan terciptanya kesadaran mengerti agama yang berdasarkan peringatan dan larangan; hak dan kewajiban, sehingga terwujudnya suasana kebudayaan masyarakat yang tinggi, berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Juga untuk mewujudkan suasana pembahasan nya yang benar dan ijtihad yang bersih tentang kemajuan Islam di tengah-tengah aneka ragam masyarakat yang silih berganti periode dan generasi.
Islam agama Ilmu dan agama akal. Islam mewajibkan kepada pengikut-pengikutnya menjadi orang yang berilmu, berakal sehat, faham, cemerlang pikirannya, elok penglihatannya, berpandangan luas, dapat mendalami segala urusan sebelum mengerjakannya, dapat membanding sesuatu berdasarkan berbagai perbandingan, agar perbuatannya bersesuaian dengan kebenaran, keadilan, kemaslahatn, dan kewajiban.
Islam menganggap bahwa agama tidak akan mendapat tempat yang baik apabila orang-orang Islam tidak mempunyai pengetahuan yang matang dan fikiran yang sehat. Oleh karena itu, pengetahuan bagi Islam bagaikan ruh (nyawa) bagi manusia.[1]
Dengan demikian, ilmu pendidikan Islam selain sebagai suatu tuntunan hidup, juga sebagai konsekuensi logis dari sifat dan karakter ajaran Islam itu sendiri. Ilmu pendidikan Islam didasarkan apada aqidah dan akhlak atau bersifat humanisme teo-centris; yang memadukan antara hasil pemikiran logika manusia dan ketetapan hukum yang diamanatkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah Pengertian dari pendidikan Islam?
2.      Apa hakikat pendidikan Islam?
3.      Apa yang menjadi prinsip-prinsip di dalam pendidikan Islam?
4.      Apa yang menjadi dasar pendidikan Islam?
5.      Apa yang menjadi asas-asas pendidikan Islam?
6.      Apa tujuan dari pendidikan Islam?
C.     Tujuan Pembahasan
1.      Mengetahui pengertian dari pendidikan Islam.
2.      Mengetahui hakikat pendidikan Islam.
3.      Mengetahui prinsip-prinsip di dalam pendidikan Islam.
4.      Mengetahui dasar-dasar pendidikan Islam.
5.      Mengetahui asas-asas pendidikan Islam.
6.      Mengetahui tujuan dari pendidikan Islam.




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendidikan Islam
1.      Pengertian Etimologi
Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam kadang-kadang disebut al-ta’lim. Al-Ta’lim biasanya diterjemahkan dengan “pengajaran”. Ia kadang-kadang disebut dengan al-ta’dib. Al-Ta’dib secara etimologi diterjemahkan dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun. Sedangkan al-Ghazali menyebut “pendidikan” dengan sebutan al-riyadhat. Al-Riyadhat dalam arti bahasa diterjemahkan dengan olah raga atau pelatihan. Term ini dikhususkan untuk masa kanak-kanak, sehingga al-Ghazali menyebutnya dengan riyadha alshibyan.
Menurut mu’jam (kamus) kebahasaan, kata al-tarbiyat memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu:
a.  تربية - يربو - ربّا  : yang memiliki arti tambah (zad) dan berkembang (nama). Pengertian ini didasarkan atas Q.S. aal-Rum ayat 39.
b. ربّيتربيةيربّي : yang memiliki arti tumbuh (nasya’) dan menjadi besar (tara ra’a).
c.  ربّيربّيتربية : yang memiliki arti memperbaiki (ashalaba), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah, member makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.
Apabila term al-tarbiyat dikaitkan dengan bentuk madhi-nya rabbaniy yang tertera di dalam Q.S. al-Isra’ ayat 24 (kama rabbaniy shagira), dan bentuk mudhari-nya nurabbiy dan  yurbiy yang tertera di dalam Q.S. al-Syuara ayat 18(alam murabbika fina walida) dan Q.S. al-Baqarah ayat 276 (yamh Allah Al-riba’ wa yurbiy al-shadaqat), maka ia memiliki arti mengasuh, menanggung, member makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan, memproduksi, dan menjinakkan.
Pada masa sekarang istilah yang popular dipakai orang adalah tarbiyah, karena menurut Athiyah Abrasyi al-Tarbiyah adalah term yang mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajama intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulis, serta memiliki beberapa keterampilan. Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah. Dengan demikian maka istilah Pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.[2]
2.      Pengertian Terminologi
Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia, mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya), teratur pikirannya, halus perasaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan atau tulisan.[3]
Pendidikan Islam tidak seluruhnya bersifat keagamaan, akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini merupakan landasan bagi tercapainya tujuan yang bermanfaat. Dalam asas pendidikan Islam tidak terdapat pandangan yang bersifat materialistis, namun pendidikan Islam memandang materi, atau usaha mencari rezeki sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan tujuan untuk mendapatkan materi semata-mata, melainkan untuk mendapatkan manfaat yang seimbang. Di dalam pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ikhwan al-Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak mungkin akan tercapai kecuali dengan menyinergikan antara agama dan ilmu.[4]
Marimba juga memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas maka berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.[5]

B.     Hakikat Pendidikan Islam
Islam memiliki idiologi al-Tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Makna tauhid bukan hanya mengesakan Tuhan seperti yang dipahami oleh kaum monotheis, melainkan juga meyakinkan kesatuan penciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntutan hidup (unity of purpose of life). Dengan kerangka dasar al-tauhid ini maka di dalam pendidikan Islam tidak akan ditemui tindakan yang dualisme, dikotomis bahkan sekularis. Sistem pendidikan Islam (mencakup: pendidik, peserta didik, kurikulum, metode, tujuan, media, dan sebagainya) menghendaki adanya integralisme yang menyatukan kebutuhan hidup dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, dan sistem kehidupan lainnya.
Pendidikan Islam bersumber dari nilai Al Quran dan Sunnah. Formulasi ini relevan dengan kesimpulan di atas, sebab dalam idiologi Islam itu bermuatan nilai-nilai dasar Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber asal dan ijtihad sebagai sumber tambahan.
Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Di dalam Islam, akhirat merupakan kelanjutan dari dunia, bahkan suatu mutu akhirat adalah konsekwensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
Islam sebagai agama yang universal berisi ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Untuk ini Islam mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan Allah dan sesama manusia. Dalam hubungan ini, ajaran Islam dibagi dalam dua kelompok, yaitu aqidah dan syari’ah. Muslim sejati di sisi Allah ialah orang yang beriman dan melaksanakan syari’ah. Barangsiapa beriman tanpa bersyari’ah atau sebaliknya bersyari’ah tanpa beriman, niscaya tidak akan berhasil.
Berdasarkan hal tersebut, pendidikan Islam berfungsi untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di dunia dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar dari siksaan Allah yang maha pedih.[6]

C.     Prinsip-prinsip pada Pendidikan Islam
Prinsip berarti asas (kebenaran yang jadi pokok dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya. Dagobert D. Runes mengartikannya sebagai kebenaran yang bersifat universal (universal truth) yang menjadi sifat dari sesuatu.[7]
Yang dimaksud dengan prinsip pendidikan Islam adalah kebenaran yang dijadikan pokok dasar dalam merumuskan dan melaksanakan pendidikan Islam. Dengan prinsip ini, maka pendidikan Islam akan memiliki perbedaan dengan pendidikan di luar Islam.
Kata Islam yang berada di belakang kata pendidikan, menunjukkan bahwa pada dasarnya prinsip pendidikan Islam itu sama dengan prinsip dalam ajaran Islam pada khususnya. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud prinsip pendidikan Islam adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang digunakan dalam merumuskan dan melaksanakan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini sifatnya permanen karena merupakan ajaran, dan karenanya tidak boleh dihilangkan atau diubah, karena ketika prinsip tersebut dihilangkan atau diubah, maka menghilangkan sifat dan karakter pendidikan Islam tersebut. Prinsip tidak boleh berubah, namun cara untuk memperjuangkan tercapainya prinsip tersebut boleh berubah atau disesuaikan dengan perkembangan zaman atau kebutuhan lokal.[8]
Prinsip pendidikan Islam ditegakkan di atas dasar Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan berpangkal dari pandangan Islam secara filosofis terhadap jagat raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Pandangan Islam terhadap masalah-masalah tersebut, melahirkan berbagai prinsip dalam pendidikan Islam.
Berikut ini akan dijelaskan pula prinsip-prinsip Pendidikan Islam yang merupakan pandangan yang didasari oleh filosofis di atas yang bercermin nantinya dalam prinsip pendidikan. Adapun prinsip-prinsip yang dimaksud adalah:[9]
1.         Prinsip Pendidikan Islam Merupakan Implikasi dari karakteristik (ciri-ciri) Manusia Menurut Islam.
Ajaran Islam mengemukakan tiga macam ciri-ciri manusia yang membedakannya dengan mahluk lain, yaitu:
1)      Fitrah
Agama yang diturumkan melalui Rasul-Nya adalah agama fitrah. Firman Allah SWT: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.(Q.S. Al-Rum: 30).
Fitrah itu sesuai dengan watak manusia yang terikat perjanjian, bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan yang disembah. Dengan demikian, fitrah manusia adalah mempercayai adanya Allah SWT sebagai Tuhan. Fitrah manusia percaya kepada Tuhan berarti manusia mempunyai potensi aktualisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang harus dipertanggungjawabkan sebagai amanah Allah dalam bentuk ibadah. Ibadah juga merupakan tujuan manusia diciptakan. Allah seterusnya menegaskan: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahku” (Q.S Al-Zariyat: 56).
2)      Kesatuan roh dan jasad (wahdah al-ruh wa al-jism).
Manusia tersusun dari dua unsur, yaitu roh dan jasad. Dari segi jasad sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang, sama-sama memiliki dorongan untuk berkembang dan mempertahankan diri serta berketurunan. Namun dari segi roh manusia sama sekali berbeda dengan mahluk lain. Allah menyempurnakan kejadian manusia dengan meniupkan roh ke dalam struktur jasad manusia.
Allah SWT berfirman:”maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Q.S. Al-Hijr: 29).
Dengan roh yang ditiupkan ke dalam diri manusia maka manusia hidup dan berkembang. Roh mempunyai dua daya, daya berpikir yang disebut aql dan rasa yang disebut qalb. Dengan adanya aql manusia memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan dan menyelidiki alam sekitar. Dengan daya qalb manusia berusaha mendekatkan diri (taqarrub) sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam sejarah Islam kedua daya ini dikembangkan. Para ulama-ulama filosof lebih mengembangkan aql daripada qalb. Ulama sufi sebaliknya, lebih mengembangkan qalb daripada aql. Dengan roh yang mempunyai dua daya tersebut, manusia memiliki potensi (fitrah) mengaktualisasikan, sifat-sifat Allah ke dalam dirinya, serta memiliki kecenderungan untuk mencari Allah, mencintai-Nya serta beribadah kepada-Nya. Dengan adanya aql manusia siap mengenal Allah, beriman dan beribadat kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan serta memanfaatkannya untuk kesejahteraan hidup. Dengan adanya qalb manusia membedakan kebaikan dan keburukan.
3)      Kebebasan berkehendak (huriyah al iradah)
Manusia memiliki karakter kebebasan berkemauan untuk memiliki dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan sebagai karakteristik manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan dalam beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berekspresi, dan sebagainya.
Allah SWT menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang salah”. (Q.S. al-Baqoroh: 256).
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. Al-Ra’d: 3).
Begitu juga Rasulullah SAW menegaskan:”Jangan seseorang itu menghina dirinya”. Para sahabat bertanya: “Bagaimana seseorang itu menghina dirinya ya Rasulullah?”. Beliau bersabda: “ia melihat perintah Allah dimana ia patut berbicara tetapi ia tidak berbicara”.
Walaupun manusia diberi kebebasan, akan tetapi kebebasan itu tidak mutlak dimana ia sanggup berbuat semaunya dalam masa dan tempat yang dikehendakinya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang terikat oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain, nilai-nilai agama dan moral yang dianut masyarakat, undang-undang yang berlaku, kebersamaan dan keadilan serta akal logika. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu pemimpin dan setiap kamu akan mempertanggungjawabkan atas kepemimpinanmu”. (H.R. Bukhari).
Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa pencapaian tujuan pendidikan Islam faktor peserta didik merupakan hal yang mutlak perlu diperhatikan. Supaya seorang pendidik berhasil dalam pendidikan maka konsep yang jelas tentang karakteristik karakter fitrah. Walaupun kita mengakui peranan lingkungan dalam pendidikan, akan tetapi lingkungan bukan satu-satunya faktor yang paling menentukan. Fitrah manusia perlu dikembangkan dalam rangka memperkuat hubungan manusia dengan Khaliknya. Karakter manusia yang terdiri dari badan dan roh dengan aql dan qalb nya perlu dikembangkan dalam pendidikan sehingga terdapat keseimbangan antara pendidikan agama dan moral. Untuk mengetahui tentang konsep manusia, watak dasar dan karakteristiknya tidak dilakukan dengan keilmuwan yang empirik, maupun pendekatan rasional falsafi, sebab pendekatan yang seperti itu tidak menyentuh esensi dan hakikat manusia yang sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan pendekatan Qur’ani (bimbingan wahyu), sedangkan pendekatan empirik dan rasional falsafi hanya diperlukan sebagai jalan untuk memahami wahyu yang kebenarannya bersifat absolut.
2.         Prinsip Pendidikan Islam adalah Integral dan Terpadu.
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan Islam adalah tuntutan aqidah Islam. Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam semesta termasuk manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola dan kelestariannya. Hukum-hukum mengenai fisik adalah sunnah Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan din Allah yang mencakup aqidah dan syariah. Baik alam fisik dengan aturannya berupa din Allah adalah sama-sama tanda wujud dan kebesaran Allah. Jadi, sama-sama ayat Allah walaupun yang pertama didapatkan dalam alam semesta sedangkan yang kedua didapatkan di dalam wahyu, yang pertama dinamakan ayat al-kauniyah dan yang kedua dinamakan al-tanziliyah. Studi tentang ayat al-kauniyah dilakukan dalam ilmu fisika, geologi, geografi, biologi, dan sebagainya. Sedangkan studi tentang tata kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan dari ayat-ayat  al-tanziliyah pedoman hidup untuk manusia dilakukan dalam ilmu hukum, ilmu politik, sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, antropologi, dan lain sebagainmya yang tercakup dalam ilmu-ilmu sosial dan humanitas.
Dengan demikian, semua cabang ilmu termasuk ilmu agama yang merupakan studi kedua jenis ayat-ayat Allah itu sebenarnya adalah ilmu-ilmu Islami, asalkan didasari dan dilakukan dalam rangka pengembangan pemahaman ilmu pengetahuan nantinya terdapat ayat-ayat Allah. Kalau dalam pengembangan ilmu pengetahuan nantinya terdapat perbedaan atau pertentangan antara hasil penelitian dengan wahyu Allah tentu terjadi salah satu dari dua hal, yakni (1) penyelidikan ilmiah yang belum sampai kepada kebenaran ilmiahyang objektif, atau (2) kita salah memahami ayat yang menyangkut objek penelitian.
Firman Allah SWT:
#x»yd Ô÷»n=t/ Ĩ$¨Z=Ïj9 (#râxZãŠÏ9ur ¾ÏmÎ/ (#þqßJn=÷èuÏ9ur $yJ¯Rr& uqèd ×m»s9Î) ÓÏnºur t©.¤uŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÎËÈ  
Artinya: “(Al-Qur’an) ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha Esa dan agar orang-orang berakal mengambil pelajaran”. Q.S. Ibrohim: 52.
Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa pendidikan Islam tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan yaitu antara pendidikan agama dengan pendidikan sains. Para peserta didik harus dapat memahami Islam sebagai a total way of life yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kalau dikotomi itu tidak dapat dihindari, minimal seorang pendidik harus dapat melakukan perubahan orientasi mengenal konsep “ilmu” yang secara langsung dikaitkan dengan dalil-dalil keagamaan, dan sebaliknya ajaran agama dikorelasikan dengan ilmu pengetahuan sehingga wawasan anak didik menyatu dalam agama dan ilmu pengetahuan.
3.         Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang.
Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap semua aspek kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa prinsip keseimbangan yang mendasari pendidikan Islam, yaitu:
1)      Keseimbangan antara kehidupan duniawi dan ukhrawi,
2)      Keseimbangan antara badan dan roh, dan
3)      Keseimbangan antara individu dan masyarakat.
Islam meletakkan beban kewajiban yang berat di atas pundak pendidikan Islam dalam makna yang sebenarnya. Sebab hasilnya baik ataupun buruk akan dirasakan oleh masyarakat sekarang dan generasi yang akan datang. Proses yang ingin dicapai oleh pendidik Islam adalah kehidupan yang indah di dunia dan akhirat.
Kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam tidaklah diukur dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan duniawi saja akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset untuk kehidupan di akhirat kelak. Berbeda dengan pendidikan di Barat yang bertitik tolak dari filsafat pragmatisme yang mengukur kebenaran menurut kepentingan waktu, tempat, situasi, dan berhenti pada garis hajat yang bertolak dari filsafat pendidikannya adalah kegunaan/utilitas yang diukur dari kepentingan duniawi. Oleh karena itu, fungsi pendidikannya tidaklah sampai untuk menciptakan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat.
Pendidikan Islam berusaha mengembangkan semua aspek dan daya yang ada pada manusia secara seimbang. Pendidikan yang oleh al-Akad disebut sebagai pendidikan yang tidak melebihkan salah satu unsur sehingga mengurangi hak unsur yang lainnya. Dengan mengembangkan semua aspek (badan, aql, dan qalb) pendidikan bukan seperti pendidikan Yunani kuno yang menitik beratkan pendidikan fisik, dan bukan pula pendidikan agusitime yang mengutamakan aspek kejiwaan dengan mematikan hasrat jasmani. Munir Mursi mengungkapkan bahwa pendidikan Islam bukan pendidikan sufisme, bukan pula pendidikan rabbaniyah, dan bukan pula pendidikan wujudiyah (keduniaan semata) akan tetapi mengutamakan kedua-duanya dan mendidiknya secara berimbang.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa manusia lahir ke dunia ini deibekali dengan kecenderungan pembawaan daya imaginasi dan akal yang berbeda. Perbedaan ini dalam psikologi disebut al-farq al-fardiah yang meliputi aspek fisik dan psikis.
Pendidikan Islam memperhatikan perbedaan perseorangan sebagai salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menyusun program kependidikan. Prinsip ini didasarkan atas pandangan filosofis bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menumbuh kembangkan aspek fisik dan psikis anak. Kenyataan menunjukkan bahwa ada perbedaan potensi yang dibawa oleh anak dalam kedua aspek tersebut. Oleh sebab itu pendidikan Islam bertanggungjawab dalam pengembangan setiap individu anak sesuai dengan tabiat masing-masing.
Di segi lain pendidikan Islam berusaha pula mengembangkan aspek kemasyarakatan berupa kasih mengasihi, hormat menghormati sesama muslim. Perasaan seperti itu apabila sudah tertanam dalam jiwa seseorang dapat menimbulkan tindakan positif berupa tolong menolong dan menjauhkan segala sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Allah SWT menjelaskan: “sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara” (Q.S. Al-Hujurat: 10). Begitu pula sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah sempurna iman salah seorang diantaramu, sebelum ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. (H.R. Bukhari).
Implikasinya dalam pendidikan Islam adalah bahwa dalam pembentukan kepribadian yang harmonis sebagai tujuan akhir pendidikan Islam prinsip keseimbangan harus diperhatikan. Kepribadian yang harmonis kalau segala aspek-aspeknya bekerja secara seimbang. Pendidikan Islam yang didasarkan prinsip keseimbangan dapat membantu pencapaian tujuan pendidikan tersebut secara tepat. Memang diakui banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan kepribadian seperti lingkungan masyarakat, alam sekitar, kebudayaan dimana anak didik itu berada ditambah dengan faktor anak didik itu sendiri. Namun, diantara faktor-faktor tersebut, faktor pendidikan lebih dominan.



4.         Prinsip Pendidikan Islam adalah Pendidikan Universal.
Prinsip ini maksudnya adalah pandangan yang menyeluruh pada agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan. Agama Islam yang menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat menyeluruh dalam pandangan, penumpuan dan tafsirannya terhadap wujud alam jagat, dan hidup. Ia menekankan pandangan yang menghimpun roh dan badan, antara individu dan kumpulan, antara dunia dan akhirat. Pendidikan Islam yang berdasarkan prinsip ini bertujuan untuk membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan kesediaan-kesediaan dan segala dayanya. Juga mengembangkan serta meningkatkan keadaan budaya, sosial, ekonomi, dan politik; dan berusaha turut serta menyelesaikan masalah-masalah masyarakat masa kini dan bersiap menghadapi tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaannya.
Menurut Muhammad Munir Mursy, yang dimaksud dengan prinsip ini adalah pendidikan Islam itu hendaknya meliputi seluruh aspek kepribadian manusia dan hendaknya melihat manusia itu dengan pandangan yang menyeluruh yang terdiri dari aspek jiwa, badan, dan akal, sehingga nantinya pendidikan Islam itu diarahkan pada pendidikan jasmani, pendidikan jiwa, dan pendidikan akal. Zakiah Darajat menggunakan istilah manusia seutuhnya dalam menjelaskan prinsip universal ini. Menurutnya, pendidikan Islam itu haruslah menumbuh suburkan dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan, dan sosial masyarakat secara seimbang, serasi, dan terpadu sehingga membawa kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Implikasinya dalam pendidikan adalah pendidikan Islam haruslah meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia dan tidak boleh hanya memberi penekanan kepada salah satu aspek saja dan meninggalkan aspek lainnya. Dalam pendidikan Islam diperlukan suatu model (pattern) sistem yang menyeluruh baik dalam pelembagaan pendidikan yang berjenjang dan bervariasi maupun dalam penerapan metode pendidikan sehingga dapat mengikuti model supra sistem dan terlahirlah sistem one for all system.
5.         Prinsip Pendidikan Islam adalah Dinamis.
Pendidikan Islam dalam prinsip ini tidak beku dalam tujuan-tujuan, kurikulum, dan metode-metodenya, tetapi ia selalu membaharui diri dan berkembang. Ia memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan zaman dan tempat dan tuntutan perkembangan dan perubahan sosial yang diakui oleh Islam. Dan digalakan dalam rangka prinsip-prinsip ajarannya. Begitu juga ia memberi respon terhadap kepentingan individu dan masyarakat yang syariat Islam memeliharanya dan ia juga selalu membaharui diri dan berkembang. Di antara cara-cara pembaharuan pendidikan adalah penyelidikan pendidikan, percobaan pendidikan, dan bersifat terbuka terhadap pengalaman bangsa lainnya, dan lain-lain. Cara-cara tersebut diakui dan digalakan dalam Islam.
Pendidikan berusaha mengadakan perubahan yang diingnkan pada tingkah laku individu dan keadaan masyarakat. Oleh sebab pendidikan itu merupakan proses perubahan tingkah laku, maka ia memerlukan dinamisme.
Implikasinya dalam pendidikan adalah dengan membentuk suatu sistem, kelembagaan pendidikan yang berjenjang dari tingkat dasar, menengah, dan perguruan tinggi, yang menggambarkan model dari proses perkembangan manusia setingkat demi setingkat ke arah yang lebih tinggi kemampuan perkembangannya. Namun yang jelas sebagai ciri utamanya suatu asas perkembangan ini ialah sifat dinamis dan progresif yang menuju ke arah kesempurnaan hidup manusia atau kesempurnaan tingkat kematangannya.

D.    Dasar Pendidikan Islam[10]
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.
Dasar pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, adalah Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang merupakan sumber pokok ajaran Islam. Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan, dan amalan-amalan para ulama yang terdahulu (assalafusshaleh) dikalangan umat Islam. Ini berarti, semua perangkat pendidikan Islam haruslah ditegakkan di atas ajaran Islam, baik filsafat pendidikan, teori, maupun praktek.
Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada: (1) dasar ideal, dan (2) dasar operasional.
1.      Dasar Ideal Pendidikan Islam
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
a.       Al- Qur’an
Umat Islam sebagai suatu umat yang dianugrahi Allah suatu kitab suci Al-Qur’an yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal, sudah barang tentu dasar pendidikan mereka bersumber kepada filsafat hidup yang berdasarkan kepada Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan Islam disamping Sunnah beliau sendiri.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an itu sendiri.
Firman Allah dalam Q.S. Al-Nahl: 64, yang artinya: “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.”
Kemudian dalam Q.S. Shad: 29, yang artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.
Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad Fadhil Al-Jamali menyatakan sebagai berikut: “Pada hakekatnya Al-Qur’an itu adalah merupakan perbendaharaan yang besar unuk kebudayaan manusia, terutama bidang kerohanian. Ia pada umumnya adalah merupakan Kitab pendidikan kemasyarakatan, moril (akhlak), dan spiritual (kerohanian).
Begitu pula Al-Nadwi mempertegas dengan menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran umat Islam haruslah bersumberkan kepada aqidah Islamiyah. Menurut beliau lagi, sekiranya pendidikan umat Islam itutidak didasarkan kepada aqidah yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, maka pendidikan itu bukanlah pendidikan Islam, tetapi adalah pendidikan asing.
b.      Sunnah (Hadits)
Dasar yang kedua setelah Al-Qur’an adalah Sunnah Rasulullah SAW. Amalan yang dikerjakan rasulullah SAW dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islamkarena Allah SWT menjadikan Muhammad SAW sebagai teladan bagi umatnya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab: 21, yang artinya: “Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik.”
Nabi mengajarkan dan mempraktekkan sikap dan amal baik kepada istri dan sahabatnya, dan seterusnyamereka mempraktekan pula seperti yang dipraktekkan Nabi SAW dan mengajarkan pula pada orang lain. Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW inilah yang disebut hadits atau sunnah.
Konsepsi[11] dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1)   Disampaikan sebagai rahmatan lil‘alamin.
2)   Disampaikan secara universal.
3)   Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak.
4)   Kehadiran Nabi sebagai evaluator atau segala aktifitas pendidikan.
5)   Perilaku Nabi sebagai figur identifikasi (uswah hasanah) bagi umatnya.
Adanya dasar yang kokoh ini terutama Al-Qur’an dan Sunnah, karena keabsahan dasar ini sebagai pedoman hidup dan kehidupan sudah mendapat jaminan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Firman Allah SWT: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang yang bertakwa (Q.S. Al-Baqoroh: 2).
Sabda Rasulullah SAW: “Kutinggalkan kepadamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Prinsip menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran keyakinan semata. Lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah. Dengan demikian barangkali wajar jika kebenaran itu kita kembalikan kepada pembuktian kebenaran pernyataan Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Kebenaran yang dikemukakan-Nya mengandung kebenaran yang hakiki, bukan spekulatif dan relatif. Hal ini sesuai dengan jaminan Allah SWT.
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami tetap memeliharanya”. (Q.S. Al-Hijr: 9).
Al-Qur’an dan Sunnah disebut sebagai dasar pokok.

c.       Perkataan, Perbuatan, dan Sikap Para Sahabat
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur’an dan Sunnah juga perkataan, sikap, dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegang karena Allah sendiri di dalam Al-Qur’an yang memberikan pernyataan.
Firman Allah SWT: “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (Q.S. Al-Taubah: 100).
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar.” (Q.S. Al-Taubah: 119).
Para sejarahwan mencatat perkataan sikap para sahabat-sahabat tersebut yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam Islam di antaranya adalah:
1)   Setelah Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah ia mengucapkan pidato sebagai berikut: “hai manusia, saya telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang terbaik di antara kamu. Jika aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tetapi jika aku berbuat salah, betulkanlah aku, orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah sehingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang kamu pandang lemah aku pandang kuat sehingga aku dapat mengembalikan haknya. Hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku tidak mentaati Allah dan Rasul-Nya, kamu tak perlu taat kepadaku.
Menurut pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung arti bahwa manusia harus mempunyai prinsip yang sama di hadapan Khaliknya. Selama baik dan lurus ia harus diikuti, tetapi sebaliknya (kalau ia tidak lurus dan baik) manusia harus bertanggungjawab membetulkannya.
2)   Umar bin Khatab terkenal dengan sifatnya yang jujur, adil, cakap, berjiwa demokrasi yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar ini disaksikan dan dirasakan sendiri oleh masyarakat pada waktu itu. Sifat-sifat seperti ini sangat perlu dimiliki seorang pendidik, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pedagogis dan teladan yang baik yang harus ditiru.
Muhammad Salih Samak menyatakan bahwa contoh teladan yang baik dan cara guru memperbaiki pelajarannya, serta kepercayaan yang penuh kepada tugas, kerja, akhlak, dan agama adalah kesan yang baik untuk sampai kepada  pendidikan agama.
3)   Usaha-usaha para sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan pendidikan Islam sampai sekarang, di antaranya;
·      Abu Bakar melakukan modifikasi Al-Qur’an;
·      Umar bin Khatab sebagai bapak reaktuator terhadap ajaran Islam yang dapat dijadikan sebagai prinsip strategi pendidikan;
·      Usman bin Affan sebagai bapak pemersatu sistematika penulisan ilmiah;
·      Ali bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep pendidikan.
Menurut Fazlur Rahman, para sahabat Nabi memiliki karakteristik yang berbeda dari kebanyakan orang. Karakteristik yang berbeda itu di antaranya:
a)      Sunnah yang dilakukan para sahabat tidak terpisah dari sunnah Nabi;
b)      Kandungan yang khusus yang aktual sunnah sahabat sebagian besar produk sendiri;
c)      Unsur kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang mengalami kristalisasi menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk Nabi terhadap sesuatu yang bersifat spesifik;
d)     Praktek amaliah sahabat identik dengan ijma’.
d.      Ijtihad
Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib berakhir masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan digantikan oleh dinasti Umaiyah. Pada masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan ke Spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini diikuti oleh ulama dan guru atau pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar di kota-kota besar, seperti: Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan  Kuffah (Iran), Damsyik dan Palestina, Fustat (Mesir).
Dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan di atas, berarti terjadi perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai interaksi nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Ini berarti perlunya pemikiran yang mendalam tentang cara mengatasi permasalahannya yang timbul. Pemikiran yang seperti itu disebut “ijtihad”.
Agaknya Al-Auza’I, Abu Hanifah, dan Imam Malik sebagai imam-imam mujtahid yang telah ada pada waktu itu, merasa perlu untuk memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat interaksi-interaksi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berbeda tersebut dengan menggunakan ijtihad. Dengan demikian, ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan, karena sesuai dengan hikmah Islam.
Karena Al-Qur’an dan Hadits banyak mengandung arti umum, maka para ahli hukum dalam Islam menggunakan” ijtihad” untuk menetapkan hukum tersebut. Ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi SAW, dan beranjaknya Islam mulai keluar dari tanah Arab, karena situasi dan kondisinya banyak berbeda dengan di tanah Arab.
Majelis Muzakarah Al-Azhar menetapkan bahwa ijtihad adalah jalan yang dilalui dengan semua daya dengan kesungguhan yang diwujudkan oleh akal melalui ijma’, qiyas, istihsan dengan zhan (mendekati keyakinan) untuk mengistinbathkan hukum dari pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah untuk menentukan batas yang ditentukan.
Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berpikir menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmu syariat Islam dalam hal yang ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan hadits, penetapan hukum dilakukan dengan ijtihad.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa yang dimaksud dengan ijtihad adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan hadits dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan  dengan ijma’, qiyas, istihsan, mashalih mursalah, dan lain-lain.
Ijtihad dalam penggunaannya dapat meliputi seluruh aspek ajaran Islam, termasuk juga aspek pendidikan.
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu, sebab ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, hanya berupa prinsip-prinsip pokok saja. Bila tenyata ada yang agak terinci, maka rincian itu merupakan contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak diturunkan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, Islam telah tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.
Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori pendidikan Islam dipandang sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan teori pendidikan pada masa yang akan datang, sehingga pendidikan Islam tidak melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap khazanah pemikiran para orientalis dan sekularis. Allah sangat menghargai kesungguhan para mujtahid dalam berijtihad.
Sabda Rasulullah SAW: “apabila hakim telah menetapkan hukum, kemudian dia berijtihad dan ijtihadnya itu benar, maka dua pahala, akan tetapi apabila ia berijtihad dan ternyata ijtihadnya salah, maka satu pahala. (H.R. Bukhari Muslim dan Amr bin Ash).
Al-Qur’an dan Hadits disebut dasar pokok, sedangkan sikap dan perbuatan para sahabat serta ijtihad disebut sebagai sumber dasar tambahan. Dasar tambahan ini dapat dipakai selama tidak bertentangan dengan dasar pokok.

2.      Dasar Operasional
Dasar operasional merupakan dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Langgulung, dasar operasional dapat dibagi ke dalam enam macam.
a.      Dasar Historis
Dasar yang memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, berupa undang-undang dan peraturan-peraturannya maupun berupa tradisi dan ketetapannya.
b.      Dasar Sosiologis
Dasar berupa kerangka budaya dimana pendidikannya itu bertolak dan bergerak, seperti memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya.
c.      Dasar Ekonomis
Dasar yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, dan bertanggungjawab terhadap anggaran pembelanjaan.
d.     Dasar Politik dan Administrasi
Dasar yang memberi bingkai ideologi (aqidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
e.      Dasar Psikologis
Dasar yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, metode yang terbaik dalam praktek, pengukuran, dan penilaian bimbingan dan penyuluhan.
f.       Dasar filosofis
Dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.

E.     Asas-asas Pendidikan Islam
Asas pendidikan Islam merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas pendidikan bisa  juga diartikan sebagai  aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajar dan metode pengajaran) yang diberikan oleh negara.  Aqidah Islam berkonsekuensi pada ketaatan syari’at Islam. Ini bertujuan, dengan pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterkaitan pada syari’at Islam dengan peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pendidikan.
Aqidah Islam menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan yang dikembangkan harus bersumber pada aqidah Islam, karena memang tidak semua ilmu pengetahuan lahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud adalah, aqidah Islam harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk dijelaskan kesalahannya.

F.      Tujuan Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis  yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
1.    Berkepribadian Islam, ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim. Intinya seorang muslim harus memiliki dua aspek fundamental: yaitu pola pikir (‘aqliyyah) dan (nafsiyyah) yang berpijak pada aqidah Islam, untuk mengembangkan kepribadian Islam paling tidak ada tiga langkah yang harus ditempuh sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu:
·      Menanamkan aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah tersebut, yaitu seperti aqidah aqliyyah: yaitu aqidah yang muncul dari proses pemikiran yang mendalam.
·      Menanamkan sikap konsisten dan istoqomah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam agar cara berpikir dan cara berperilakunya tetap berada di atas pondasi aqidah yang diyakininya. 
·      Mengembangkan kepribadaian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang deengan senantiasa mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
2.    Menguasai tsaqafah Islam, Islam telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran kewajiban, menurut al-Ghajali, ilmu dibagi dalam dua kategori:
·      Ilmu yang termasuk fardhu’ain (kewajiban individual), artinya wajib dipelajari setiap muslim, yaitu tsaqafah Islam yang terdiri dari konsepsi, ide, hukum-hukum Islam, bahasa arab, sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an, tahfidz al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqih, dll.
·      Ilmu kategori fardhu kifayah (kewajiban kolektif), biasanya ilmu-ilmu yang mencakup sains  dan teknologi serta ilmu terapan keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran, pertanian, teknik, dll
3.    Menguasai ilmu kehidupan (IPTEK). Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah allah dimuka bumi dengan baik. Islam menetapkan pengusaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu karena ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat Islam, seperti kedokteran, kimia, fisika, industri, penerbangan, biologi, teknik, dll.
4.    Memiliki keterampilan yang memadai. Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT
BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.
Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Di dalam Islam, akhirat merupakan kelanjutan dari dunia, bahkan suatu mutu akhirat adalah konsekwensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
Kata Islam yang berada di belakang kata pendidikan, menunjukkan bahwa pada dasarnya prinsip pendidikan Islam itu sama dengan prinsip dalam ajaran Islam pada khususnya. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud prinsip pendidikan Islam adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang digunakan dalam merumuskan dan melaksanakan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini sifatnya permanen karena merupakan ajaran, dan karenanya tidak boleh dihilangkan atau diubah, karena ketika prinsip tersebut dihilangkan atau diubah, maka menghilangkan sifat dan karakter pendidikan Islam tersebut. Prinsip tidak boleh berubah, namun cara untuk memperjuangkan tercapainya prinsip tersebut boleh berubah atau disesuaikan dengan perkembangan zaman atau kebutuhan lokal.
Dasar pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, adalah Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang merupakan sumber pokok ajaran Islam. Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan, dan amalan-amalan para ulama yang terdahulu (assalafusshaleh) dikalangan umat Islam. Ini berarti, semua perangkat pendidikan Islam haruslah ditegakkan di atas ajaran Islam, baik filsafat pendidikan, teori, maupun praktek.
Asas pendidikan Islam merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir, baik dalam tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas pendidikan bisa  juga diartikan sebagai  aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum (mata ajar dan metode pengajaran) yang diberikan oleh negara.  Aqidah Islam berkonsekuensi pada ketaatan syari’at Islam. Ini bertujuan, dengan pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterkaitan pada syari’at Islam dengan peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu pendidikan.
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis  yang bertujuan untuk membentuk manusia yang berkarakter.

B.     Saran
Seorang mu’min tidak akan merasa puas dengan kebaikan dan ilmu yang diterimanya, sehingga syurga menjadi tempat kepuasannya.[12]
Pelajarilah segala jenis bidang ilmu dengan baik dan didasari oleh aqidah Islam. Karena, barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan baginya ke jalan menuju syurga.[13]





















DAFTAR PUSTAKA

Nata, Abudin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Rifai, Moh.. 1986. Akhlaq Seorang Muslim Terjemahan dari Kitab Khuluqul Muslim karya Muhammad Al Ghazali. Semarang: CV. Wicaksana.



LAMPIRAN
Salinan Cover Buku yang dijadikan Referensi



[1] Rifai, Moh.. 1986. Akhlaq Seorang Muslim Terjemahan dari Kitab Khuluqul Muslim Karya Muhammad Al Ghazali. Semarang: CV. Wicaksana. Hal. 444-445.
[2] Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2004), h.2-3
[3] Ibid, h. 3.
[4] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 30.
[5] Prof. DR. H Ramayulis, Op. Cit., h. 3.
[6] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 5-7.
[7] Prof. DR. H. Ramayulis, Ibid, h. 7
[8] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Op. Cit., h. 102
[9] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 8-16
[10] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 53-62
[11] Konsepsi: rancangan yang telah ada dalam pikiran.
[12] Hadits riwayat Turmudzi dalam buku Akhlaq Seorang Muslim hal. 464.
[13] Hadits riwayat Muslim dalam buku Akhlaq Seorang Muslim hal. 458.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar