BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada
dasarnya, Ilmu Pendidikan Islam membahas berbagai komponen pendidikan, antara
lain meliputi misi, tujuan, kurikulum, dan proses belajar mengajar secara
sistematik, objektif, dan komprehensif. Semua hal pokok yang dipelajari ini
didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam, sebagaimana dijelaskan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadits serta hal-hal praktis dalam sejarah Islam.
Islam
mewajibkan kaum muslimin dan muslimat menuntut ilmu sejak dari buaian sampai
liang lahad, karena orang yang berilmu di masyarakat menduduki derajat yang
tinggi, sedangkan yang tidak berilmu menduduki derajat yang rendah.
Eksistensi
ilmu pendidikan Islam sangat mungkin untuk terus tumbuh dan berkembang sebagai
satu disiplin keilmuan dalam kelompok ilmu-ilmu sosial dalam Islam. Islam itu
sendiri tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, melainkan
juga manusia dengan masalah sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, hukum,
budaya, dan ilmu pengetahuan lainnya.
Hakikat
Islam dari prinsip dasar sampai bagian-bagiannya bukanlah hanya tata cara
peribadatan yang berpindah-pindah dari nenek moyang terus turun temurun, atau
berupa jampi-jampi yang disebarkan secara persaan dengan dugaan-dugaan, tetapi
hakikat Islam bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang metoda dan teknis
pengumpulan Al-Qur’an bukanlah tergantung kepada pembacaan dan hafalan orang
seorang saja, tetapi dihimpun berdasarkan beberapa sahabat yang tergolong
Al-Hafizh, ulama, dan cerdik pandai yang memiliki daya fikir yang matang dan
memahami sesuatu yang benar dengan gaya bahasa yang mempunyai dasar tujuan
terciptanya kesadaran mengerti agama yang berdasarkan peringatan dan larangan;
hak dan kewajiban, sehingga terwujudnya suasana kebudayaan masyarakat yang
tinggi, berkaitan dengan prinsip amar ma’ruf nahi munkar. Juga untuk mewujudkan
suasana pembahasan nya yang benar dan ijtihad yang bersih tentang kemajuan Islam
di tengah-tengah aneka ragam masyarakat yang silih berganti periode dan
generasi.
Islam
agama Ilmu dan agama akal. Islam mewajibkan kepada pengikut-pengikutnya menjadi
orang yang berilmu, berakal sehat, faham, cemerlang pikirannya, elok
penglihatannya, berpandangan luas, dapat mendalami segala urusan sebelum
mengerjakannya, dapat membanding sesuatu berdasarkan berbagai perbandingan,
agar perbuatannya bersesuaian dengan kebenaran, keadilan, kemaslahatn, dan
kewajiban.
Islam
menganggap bahwa agama tidak akan mendapat tempat yang baik apabila orang-orang
Islam tidak mempunyai pengetahuan yang matang dan fikiran yang sehat. Oleh
karena itu, pengetahuan bagi Islam bagaikan ruh (nyawa) bagi manusia.[1]
Dengan
demikian, ilmu pendidikan Islam selain sebagai suatu tuntunan hidup, juga
sebagai konsekuensi logis dari sifat dan karakter ajaran Islam itu sendiri.
Ilmu pendidikan Islam didasarkan apada aqidah dan akhlak atau bersifat
humanisme teo-centris; yang memadukan antara hasil pemikiran logika manusia dan
ketetapan hukum yang diamanatkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah Pengertian dari pendidikan Islam?
2.
Apa hakikat pendidikan Islam?
3.
Apa yang menjadi prinsip-prinsip di dalam pendidikan Islam?
4.
Apa yang menjadi dasar pendidikan Islam?
5.
Apa yang menjadi asas-asas pendidikan Islam?
6.
Apa tujuan dari pendidikan Islam?
C.
Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui pengertian dari pendidikan Islam.
2.
Mengetahui hakikat pendidikan Islam.
3.
Mengetahui prinsip-prinsip di dalam pendidikan Islam.
4.
Mengetahui dasar-dasar pendidikan Islam.
5.
Mengetahui asas-asas pendidikan Islam.
6.
Mengetahui tujuan dari pendidikan Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Etimologi
Istilah “pendidikan” dalam pendidikan Islam
kadang-kadang disebut al-ta’lim.
Al-Ta’lim biasanya diterjemahkan dengan “pengajaran”. Ia kadang-kadang
disebut dengan al-ta’dib. Al-Ta’dib secara etimologi diterjemahkan
dengan perjamuan makan atau pendidikan sopan santun. Sedangkan al-Ghazali
menyebut “pendidikan” dengan sebutan al-riyadhat.
Al-Riyadhat dalam arti bahasa diterjemahkan dengan olah raga atau pelatihan.
Term ini dikhususkan untuk masa kanak-kanak, sehingga al-Ghazali menyebutnya
dengan riyadha alshibyan.
Menurut mu’jam
(kamus) kebahasaan, kata al-tarbiyat
memiliki tiga akar kebahasaan, yaitu:
a. تربية
- يربو - ربّا :
yang memiliki arti tambah (zad) dan
berkembang (nama). Pengertian ini
didasarkan atas Q.S. aal-Rum ayat 39.
b. ربّي – تربية
– يربّي
:
yang memiliki arti tumbuh (nasya’)
dan menjadi besar (tara ra’a).
c. ربّ – يربّي
– تربية : yang memiliki arti memperbaiki (ashalaba), menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah,
member makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur, dan menjaga kelestarian dan
eksistensinya.
Apabila term al-tarbiyat dikaitkan dengan bentuk madhi-nya rabbaniy yang tertera di dalam Q.S. al-Isra’ ayat 24 (kama rabbaniy shagira), dan bentuk mudhari-nya nurabbiy dan yurbiy yang tertera di dalam Q.S.
al-Syuara ayat 18(alam murabbika fina
walida) dan Q.S. al-Baqarah ayat 276 (yamh
Allah Al-riba’ wa yurbiy al-shadaqat), maka ia memiliki arti mengasuh,
menanggung, member makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan, menumbuhkan,
memproduksi, dan menjinakkan.
Pada masa sekarang istilah yang popular dipakai
orang adalah tarbiyah, karena menurut
Athiyah Abrasyi al-Tarbiyah adalah term yang mencakup keseluruhan kegiatan
pendidikan. Ia adalah upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang
lebih sempurna etika, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajama intuisi,
giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam
mengungkap bahasa lisan dan tulis, serta memiliki beberapa keterampilan.
Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian dari kegiatan tarbiyah. Dengan
demikian maka istilah Pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.[2]
2.
Pengertian
Terminologi
Al-Abrasyi memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam
adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,
mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya (akhlaknya),
teratur pikirannya, halus perasaannya, manis tutur katanya baik dengan lisan
atau tulisan.[3]
Pendidikan Islam tidak seluruhnya bersifat
keagamaan, akhlak, dan spiritual, namun tujuan ini merupakan landasan bagi
tercapainya tujuan yang bermanfaat. Dalam asas pendidikan Islam tidak terdapat
pandangan yang bersifat materialistis, namun pendidikan Islam memandang materi,
atau usaha mencari rezeki sebagai masalah temporer dalam kehidupan, dan bukan
tujuan untuk mendapatkan materi semata-mata, melainkan untuk mendapatkan
manfaat yang seimbang. Di dalam pemikiran al-Farabi, Ibn Sina, dan Ikhwan
al-Shafa terdapat pemikiran, bahwa kesempurnaan seseorang tidak mungkin akan
tercapai kecuali dengan menyinergikan antara agama dan ilmu.[4]
Marimba juga memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam
adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju
kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam.
Dengan memperhatikan kedua definisi di atas maka
berarti pendidikan Islam adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada
pembentukan akhlak atau kepribadian.[5]
B.
Hakikat
Pendidikan Islam
Islam memiliki idiologi al-Tauhid yang bersumber
dari Al-Qur’an dan Sunnah. Makna tauhid bukan hanya mengesakan Tuhan seperti
yang dipahami oleh kaum monotheis, melainkan juga meyakinkan kesatuan
penciptaan (unity of creation),
kesatuan kemanusiaan (unity of mankind),
kesatuan tuntutan hidup (unity of purpose
of life). Dengan kerangka dasar al-tauhid ini maka di dalam pendidikan Islam
tidak akan ditemui tindakan yang dualisme, dikotomis bahkan sekularis. Sistem
pendidikan Islam (mencakup: pendidik, peserta didik, kurikulum, metode, tujuan,
media, dan sebagainya) menghendaki adanya integralisme yang menyatukan
kebutuhan hidup dunia dan akhirat, jasmani dan rohani, dan sistem kehidupan
lainnya.
Pendidikan Islam bersumber dari nilai Al Quran dan
Sunnah. Formulasi ini relevan dengan kesimpulan di atas, sebab dalam idiologi Islam
itu bermuatan nilai-nilai dasar Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber asal dan
ijtihad sebagai sumber tambahan.
Pendidikan Islam berorientasi kepada duniawi dan
ukhrawi. Di dalam Islam, akhirat merupakan kelanjutan dari dunia, bahkan suatu
mutu akhirat adalah konsekwensi dari mutu kehidupan dunia. Segala perbuatan
muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan dengan akhirat.
Islam sebagai agama yang universal berisi
ajaran-ajaran yang dapat membimbing manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia
dan akhirat.
Untuk ini Islam mengajarkan kepada umatnya agar
senantiasa menjalin hubungan yang erat dengan Allah dan sesama manusia. Dalam
hubungan ini, ajaran Islam dibagi dalam dua kelompok, yaitu aqidah dan syari’ah.
Muslim sejati di sisi Allah ialah orang yang beriman dan melaksanakan syari’ah.
Barangsiapa beriman tanpa bersyari’ah atau sebaliknya bersyari’ah tanpa
beriman, niscaya tidak akan berhasil.
Berdasarkan hal tersebut, pendidikan Islam berfungsi
untuk menghasilkan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di dunia
dan kehidupan yang indah di akhirat serta terhindar dari siksaan Allah yang
maha pedih.[6]
C.
Prinsip-prinsip
pada Pendidikan Islam
Prinsip berarti asas (kebenaran yang jadi pokok
dasar orang berpikir, bertindak, dan sebagainya. Dagobert D. Runes
mengartikannya sebagai kebenaran yang bersifat universal (universal truth) yang menjadi sifat dari sesuatu.[7]
Yang dimaksud dengan prinsip pendidikan Islam adalah
kebenaran yang dijadikan pokok dasar dalam merumuskan dan melaksanakan
pendidikan Islam. Dengan prinsip ini, maka pendidikan Islam akan memiliki
perbedaan dengan pendidikan di luar Islam.
Kata Islam yang berada di belakang kata pendidikan,
menunjukkan bahwa pada dasarnya prinsip pendidikan Islam itu sama dengan
prinsip dalam ajaran Islam pada khususnya. Dengan kata lain bahwa yang dimaksud
prinsip pendidikan Islam adalah prinsip-prinsip ajaran Islam yang digunakan
dalam merumuskan dan melaksanakan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini sifatnya
permanen karena merupakan ajaran, dan karenanya tidak boleh dihilangkan atau
diubah, karena ketika prinsip tersebut dihilangkan atau diubah, maka
menghilangkan sifat dan karakter pendidikan Islam tersebut. Prinsip tidak boleh
berubah, namun cara untuk memperjuangkan tercapainya prinsip tersebut boleh
berubah atau disesuaikan dengan perkembangan zaman atau kebutuhan lokal.[8]
Prinsip pendidikan Islam ditegakkan di atas dasar
Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW dan berpangkal dari pandangan Islam secara
filosofis terhadap jagat raya, manusia, masyarakat, ilmu pengetahuan, dan
akhlak. Pandangan Islam terhadap masalah-masalah tersebut, melahirkan berbagai
prinsip dalam pendidikan Islam.
Berikut ini akan dijelaskan pula prinsip-prinsip
Pendidikan Islam yang merupakan pandangan yang didasari oleh filosofis di atas
yang bercermin nantinya dalam prinsip pendidikan. Adapun prinsip-prinsip yang
dimaksud adalah:[9]
1.
Prinsip
Pendidikan Islam Merupakan Implikasi dari karakteristik (ciri-ciri) Manusia
Menurut Islam.
Ajaran Islam mengemukakan tiga macam ciri-ciri
manusia yang membedakannya dengan mahluk lain, yaitu:
1)
Fitrah
Agama yang diturumkan melalui Rasul-Nya adalah agama
fitrah. Firman Allah SWT: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada
peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui”.(Q.S. Al-Rum: 30).
Fitrah itu sesuai dengan watak manusia yang terikat
perjanjian, bahwa manusia menerima Allah sebagai Tuhan yang disembah. Dengan
demikian, fitrah manusia adalah mempercayai adanya Allah SWT sebagai Tuhan.
Fitrah manusia percaya kepada Tuhan berarti manusia mempunyai potensi
aktualisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri manusia yang harus
dipertanggungjawabkan sebagai amanah Allah dalam bentuk ibadah. Ibadah juga
merupakan tujuan manusia diciptakan. Allah seterusnya menegaskan: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka menyembahku” (Q.S Al-Zariyat: 56).
2)
Kesatuan
roh dan jasad (wahdah al-ruh wa al-jism).
Manusia tersusun dari dua unsur, yaitu roh dan
jasad. Dari segi jasad sebagian karakteristik manusia sama dengan binatang,
sama-sama memiliki dorongan untuk berkembang dan mempertahankan diri serta
berketurunan. Namun dari segi roh manusia sama sekali berbeda dengan mahluk
lain. Allah menyempurnakan kejadian manusia dengan meniupkan roh ke dalam
struktur jasad manusia.
Allah SWT berfirman:”maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannya dan telah meniupkan
ke dalamnya roh (ciptaan) Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud”. (Q.S.
Al-Hijr: 29).
Dengan roh yang ditiupkan ke dalam diri manusia maka
manusia hidup dan berkembang. Roh mempunyai dua daya, daya berpikir yang
disebut aql dan rasa yang disebut qalb. Dengan adanya aql manusia memperoleh ilmu pengetahuan, memperhatikan dan
menyelidiki alam sekitar. Dengan daya qalb
manusia berusaha mendekatkan diri (taqarrub)
sedekat mungkin dengan Tuhan. Dalam sejarah Islam kedua daya ini dikembangkan.
Para ulama-ulama filosof lebih mengembangkan aql daripada qalb. Ulama
sufi sebaliknya, lebih mengembangkan qalb
daripada aql. Dengan roh yang
mempunyai dua daya tersebut, manusia memiliki potensi (fitrah)
mengaktualisasikan, sifat-sifat Allah ke dalam dirinya, serta memiliki
kecenderungan untuk mencari Allah, mencintai-Nya serta beribadah kepada-Nya.
Dengan adanya aql manusia siap mengenal
Allah, beriman dan beribadat kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan serta
memanfaatkannya untuk kesejahteraan hidup. Dengan adanya qalb manusia membedakan kebaikan dan keburukan.
3)
Kebebasan
berkehendak (huriyah al iradah)
Manusia memiliki karakter kebebasan berkemauan untuk
memiliki dan memutuskan tingkah lakunya sendiri. Kebebasan sebagai
karakteristik manusia meliputi berbagai dimensi seperti kebebasan dalam
beragama, berbuat, mengeluarkan pendapat, memiliki, berpikir, berekspresi, dan
sebagainya.
Allah SWT menegaskan: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama (Islam); sesungguhnya telah
jelas jalan yang benar dan jalan yang salah”. (Q.S. al-Baqoroh: 256).
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang memikirkan”. (Q.S. Al-Ra’d: 3).
Begitu juga Rasulullah SAW menegaskan:”Jangan seseorang itu menghina dirinya”.
Para sahabat bertanya: “Bagaimana seseorang itu menghina dirinya ya
Rasulullah?”. Beliau bersabda: “ia melihat perintah Allah dimana ia patut
berbicara tetapi ia tidak berbicara”.
Walaupun manusia diberi kebebasan, akan tetapi
kebebasan itu tidak mutlak dimana ia sanggup berbuat semaunya dalam masa dan
tempat yang dikehendakinya. Kebebasan dalam Islam adalah kebebasan yang terikat
oleh rasa tanggungjawab, tidak menghalangi kebebasan orang lain, nilai-nilai
agama dan moral yang dianut masyarakat, undang-undang yang berlaku, kebersamaan
dan keadilan serta akal logika. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kamu pemimpin dan setiap kamu akan mempertanggungjawabkan atas
kepemimpinanmu”. (H.R. Bukhari).
Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa
pencapaian tujuan pendidikan Islam faktor peserta didik merupakan hal yang
mutlak perlu diperhatikan. Supaya seorang pendidik berhasil dalam pendidikan maka
konsep yang jelas tentang karakteristik karakter fitrah. Walaupun kita mengakui
peranan lingkungan dalam pendidikan, akan tetapi lingkungan bukan satu-satunya
faktor yang paling menentukan. Fitrah manusia perlu dikembangkan dalam rangka
memperkuat hubungan manusia dengan Khaliknya. Karakter manusia yang terdiri
dari badan dan roh dengan aql dan qalb nya perlu dikembangkan dalam
pendidikan sehingga terdapat keseimbangan antara pendidikan agama dan moral.
Untuk mengetahui tentang konsep manusia, watak dasar dan karakteristiknya tidak
dilakukan dengan keilmuwan yang empirik, maupun pendekatan rasional falsafi,
sebab pendekatan yang seperti itu tidak menyentuh esensi dan hakikat manusia
yang sebenarnya. Oleh karena itu diperlukan pendekatan Qur’ani (bimbingan
wahyu), sedangkan pendekatan empirik dan rasional falsafi hanya diperlukan
sebagai jalan untuk memahami wahyu yang kebenarannya bersifat absolut.
2.
Prinsip
Pendidikan Islam adalah Integral dan Terpadu.
Pendidikan Islam tidak mengenal adanya pemisahan
antara sains dan agama. Penyatuan antara kedua sistem pendidikan Islam adalah
tuntutan aqidah Islam. Allah dalam doktrin ajaran Islam adalah pencipta alam
semesta termasuk manusia. Dia pula yang menurunkan hukum-hukum untuk mengelola
dan kelestariannya. Hukum-hukum mengenai fisik adalah sunnah Allah, sedangkan pedoman hidup dan hukum-hukum untuk
kehidupan manusia telah ditentukan pula dalam ajaran agama yang dinamakan din Allah yang mencakup aqidah dan
syariah. Baik alam fisik dengan aturannya berupa din Allah adalah sama-sama tanda wujud dan kebesaran Allah. Jadi, sama-sama
ayat Allah walaupun yang pertama didapatkan dalam alam semesta sedangkan yang
kedua didapatkan di dalam wahyu, yang pertama dinamakan ayat al-kauniyah dan yang kedua dinamakan al-tanziliyah. Studi tentang ayat al-kauniyah dilakukan dalam ilmu fisika,
geologi, geografi, biologi, dan sebagainya. Sedangkan studi tentang tata
kehidupan manusia berupa pengembangan pengetahuan dari ayat-ayat al-tanziliyah
pedoman hidup untuk manusia dilakukan dalam ilmu hukum, ilmu politik,
sosiologi, psikologi, ilmu ekonomi, antropologi, dan lain sebagainmya yang
tercakup dalam ilmu-ilmu sosial dan humanitas.
Dengan demikian, semua cabang ilmu termasuk ilmu
agama yang merupakan studi kedua jenis ayat-ayat Allah itu sebenarnya adalah
ilmu-ilmu Islami, asalkan didasari dan dilakukan dalam rangka pengembangan
pemahaman ilmu pengetahuan nantinya terdapat ayat-ayat Allah. Kalau dalam
pengembangan ilmu pengetahuan nantinya terdapat perbedaan atau pertentangan
antara hasil penelitian dengan wahyu Allah tentu terjadi salah satu dari dua
hal, yakni (1) penyelidikan ilmiah yang belum sampai kepada kebenaran
ilmiahyang objektif, atau (2) kita salah memahami ayat yang menyangkut objek
penelitian.
Firman Allah SWT:
#x‹»yd Ô÷»n=t/ Ĩ$¨Z=Ïj9 (#râ‘x‹ZãŠÏ9ur ¾ÏmÎ/ (#þqßJn=÷èu‹Ï9ur $yJ¯Rr& uqèd ×m»s9Î) Ó‰Ïnºur t©.¤‹uŠÏ9ur (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÎËÈ
Artinya: “(Al-Qur’an)
ini adalah penjelasan yang cukup bagi manusia, dan supaya mereka diberi peringatan
dengan dia, dan supaya mereka mengetahui bahwasanya Dia adalah Tuhan Yang Maha
Esa dan agar orang-orang berakal mengambil pelajaran”. Q.S. Ibrohim: 52.
Implikasinya dalam pendidikan adalah bahwa
pendidikan Islam tidak dibenarkan adanya dikotomi pendidikan yaitu antara
pendidikan agama dengan pendidikan sains. Para peserta didik harus dapat
memahami Islam sebagai a total way of
life yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kalau dikotomi
itu tidak dapat dihindari, minimal seorang pendidik harus dapat melakukan
perubahan orientasi mengenal konsep “ilmu” yang secara langsung dikaitkan
dengan dalil-dalil keagamaan, dan sebaliknya ajaran agama dikorelasikan dengan
ilmu pengetahuan sehingga wawasan anak didik menyatu dalam agama dan ilmu pengetahuan.
3.
Prinsip
Pendidikan Islam adalah Pendidikan yang Seimbang.
Pandangan Islam yang menyeluruh terhadap semua aspek
kehidupan mewujudkan adanya keseimbangan. Ada beberapa prinsip keseimbangan
yang mendasari pendidikan Islam, yaitu:
1)
Keseimbangan
antara kehidupan duniawi dan ukhrawi,
2)
Keseimbangan
antara badan dan roh, dan
3)
Keseimbangan
antara individu dan masyarakat.
Islam meletakkan beban kewajiban yang berat di atas
pundak pendidikan Islam dalam makna yang sebenarnya. Sebab hasilnya baik
ataupun buruk akan dirasakan oleh masyarakat sekarang dan generasi yang akan
datang. Proses yang ingin dicapai oleh pendidik Islam adalah kehidupan yang
indah di dunia dan akhirat.
Kemajuan yang ingin dicapai dalam pendidikan Islam
tidaklah diukur dengan penguasaan atau supremasi atas segala kepentingan
duniawi saja akan tetapi sampai dimana kehidupan duniawi memberikan aset untuk
kehidupan di akhirat kelak. Berbeda dengan pendidikan di Barat yang bertitik
tolak dari filsafat pragmatisme yang mengukur kebenaran menurut kepentingan
waktu, tempat, situasi, dan berhenti pada garis hajat yang bertolak dari
filsafat pendidikannya adalah kegunaan/utilitas yang diukur dari kepentingan
duniawi. Oleh karena itu, fungsi pendidikannya tidaklah sampai untuk
menciptakan manusia yang dapat menempuh kehidupan yang indah di akhirat.
Pendidikan Islam berusaha mengembangkan semua aspek
dan daya yang ada pada manusia secara seimbang. Pendidikan yang oleh al-Akad
disebut sebagai pendidikan yang tidak melebihkan salah satu unsur sehingga mengurangi
hak unsur yang lainnya. Dengan mengembangkan semua aspek (badan, aql, dan qalb) pendidikan bukan seperti pendidikan Yunani kuno yang menitik
beratkan pendidikan fisik, dan bukan pula pendidikan agusitime yang
mengutamakan aspek kejiwaan dengan mematikan hasrat jasmani. Munir Mursi mengungkapkan
bahwa pendidikan Islam bukan pendidikan sufisme, bukan pula pendidikan rabbaniyah, dan bukan pula pendidikan wujudiyah (keduniaan semata) akan tetapi
mengutamakan kedua-duanya dan mendidiknya secara berimbang.
Suatu kenyataan yang tidak bisa dihindari bahwa
manusia lahir ke dunia ini deibekali dengan kecenderungan pembawaan daya
imaginasi dan akal yang berbeda. Perbedaan ini dalam psikologi disebut al-farq al-fardiah yang meliputi aspek
fisik dan psikis.
Pendidikan Islam memperhatikan perbedaan
perseorangan sebagai salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam
menyusun program kependidikan. Prinsip ini didasarkan atas pandangan filosofis
bahwa tujuan pendidikan pada hakekatnya adalah untuk menumbuh kembangkan aspek
fisik dan psikis anak. Kenyataan menunjukkan bahwa ada perbedaan potensi yang
dibawa oleh anak dalam kedua aspek tersebut. Oleh sebab itu pendidikan Islam
bertanggungjawab dalam pengembangan setiap individu anak sesuai dengan tabiat
masing-masing.
Di segi lain pendidikan Islam berusaha pula
mengembangkan aspek kemasyarakatan berupa kasih mengasihi, hormat menghormati
sesama muslim. Perasaan seperti itu apabila sudah tertanam dalam jiwa seseorang
dapat menimbulkan tindakan positif berupa tolong menolong dan menjauhkan segala
sesuatu yang dapat merugikan orang lain. Allah SWT menjelaskan: “sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara” (Q.S.
Al-Hujurat: 10). Begitu pula sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah sempurna iman salah seorang diantaramu, sebelum ia mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya”. (H.R. Bukhari).
Implikasinya dalam pendidikan Islam adalah bahwa
dalam pembentukan kepribadian yang harmonis sebagai tujuan akhir pendidikan Islam
prinsip keseimbangan harus diperhatikan. Kepribadian yang harmonis kalau segala
aspek-aspeknya bekerja secara seimbang. Pendidikan Islam yang didasarkan
prinsip keseimbangan dapat membantu pencapaian tujuan pendidikan tersebut
secara tepat. Memang diakui banyak faktor yang mempengaruhi pembentukan
kepribadian seperti lingkungan masyarakat, alam sekitar, kebudayaan dimana anak
didik itu berada ditambah dengan faktor anak didik itu sendiri. Namun, diantara
faktor-faktor tersebut, faktor pendidikan lebih dominan.
4.
Prinsip
Pendidikan Islam adalah Pendidikan Universal.
Prinsip ini maksudnya adalah pandangan yang
menyeluruh pada agama, manusia, masyarakat, dan kehidupan. Agama Islam yang
menjadi dasar pendidikan Islam itu bersifat menyeluruh dalam pandangan,
penumpuan dan tafsirannya terhadap wujud alam jagat, dan hidup. Ia menekankan
pandangan yang menghimpun roh dan badan, antara individu dan kumpulan, antara
dunia dan akhirat. Pendidikan Islam yang berdasarkan prinsip ini bertujuan
untuk membuka, mengembangkan, dan mendidik segala aspek pribadi manusia dan
kesediaan-kesediaan dan segala dayanya. Juga mengembangkan serta meningkatkan
keadaan budaya, sosial, ekonomi, dan politik; dan berusaha turut serta
menyelesaikan masalah-masalah masyarakat masa kini dan bersiap menghadapi
tuntutan-tuntutan masa depan dan memelihara sejarah dan kebudayaannya.
Menurut Muhammad Munir Mursy, yang dimaksud dengan
prinsip ini adalah pendidikan Islam itu hendaknya meliputi seluruh aspek
kepribadian manusia dan hendaknya melihat manusia itu dengan pandangan yang
menyeluruh yang terdiri dari aspek jiwa, badan, dan akal, sehingga nantinya
pendidikan Islam itu diarahkan pada pendidikan jasmani, pendidikan jiwa, dan
pendidikan akal. Zakiah Darajat menggunakan istilah manusia seutuhnya dalam
menjelaskan prinsip universal ini. Menurutnya, pendidikan Islam itu haruslah
menumbuh suburkan dimensi fisik, akal, agama, akhlak, kejiwaan, rasa keindahan,
dan sosial masyarakat secara seimbang, serasi, dan terpadu sehingga membawa
kebahagiaan dan kesejahteraan di dunia dan akhirat.
Implikasinya dalam pendidikan adalah pendidikan Islam
haruslah meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia dan tidak boleh hanya
memberi penekanan kepada salah satu aspek saja dan meninggalkan aspek lainnya.
Dalam pendidikan Islam diperlukan suatu model (pattern) sistem yang menyeluruh baik dalam pelembagaan pendidikan
yang berjenjang dan bervariasi maupun dalam penerapan metode pendidikan sehingga
dapat mengikuti model supra sistem dan terlahirlah sistem one for all system.
5.
Prinsip
Pendidikan Islam adalah Dinamis.
Pendidikan Islam dalam prinsip ini tidak beku dalam
tujuan-tujuan, kurikulum, dan metode-metodenya, tetapi ia selalu membaharui
diri dan berkembang. Ia memberikan respon terhadap kebutuhan-kebutuhan zaman
dan tempat dan tuntutan perkembangan dan perubahan sosial yang diakui oleh Islam.
Dan digalakan dalam rangka prinsip-prinsip ajarannya. Begitu juga ia memberi respon
terhadap kepentingan individu dan masyarakat yang syariat Islam memeliharanya
dan ia juga selalu membaharui diri dan berkembang. Di antara cara-cara
pembaharuan pendidikan adalah penyelidikan pendidikan, percobaan pendidikan,
dan bersifat terbuka terhadap pengalaman bangsa lainnya, dan lain-lain.
Cara-cara tersebut diakui dan digalakan dalam Islam.
Pendidikan berusaha mengadakan perubahan yang
diingnkan pada tingkah laku individu dan keadaan masyarakat. Oleh sebab
pendidikan itu merupakan proses perubahan tingkah laku, maka ia memerlukan
dinamisme.
Implikasinya dalam pendidikan adalah dengan
membentuk suatu sistem, kelembagaan pendidikan yang berjenjang dari tingkat
dasar, menengah, dan perguruan tinggi, yang menggambarkan model dari proses
perkembangan manusia setingkat demi setingkat ke arah yang lebih tinggi
kemampuan perkembangannya. Namun yang jelas sebagai ciri utamanya suatu asas
perkembangan ini ialah sifat dinamis dan progresif yang menuju ke arah
kesempurnaan hidup manusia atau kesempurnaan tingkat kematangannya.
D.
Dasar
Pendidikan Islam[10]
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu.
Fungsi dasar ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan
sekaligus sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu.
Dasar pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Ahmad
D. Marimba, adalah Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW yang merupakan sumber
pokok ajaran Islam. Al-Syaibani memperluas lagi dasar tersebut mencakup
ijtihad, pendapat, peninggalan, keputusan-keputusan, dan amalan-amalan para
ulama yang terdahulu (assalafusshaleh)
dikalangan umat Islam. Ini berarti, semua perangkat pendidikan Islam haruslah
ditegakkan di atas ajaran Islam, baik filsafat pendidikan, teori, maupun
praktek.
Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada: (1)
dasar ideal, dan (2) dasar operasional.
1.
Dasar
Ideal Pendidikan Islam
Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan
ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu
Al-Qur’an dan Hadits.
a.
Al-
Qur’an
Umat Islam sebagai suatu umat yang dianugrahi Allah
suatu kitab suci Al-Qur’an yang lengkap dengan segala petunjuk yang meliputi
seluruh aspek kehidupan dan bersifat universal, sudah barang tentu dasar
pendidikan mereka bersumber kepada filsafat hidup yang berdasarkan kepada
Al-Qur’an.
Nabi Muhammad SAW sebagai pendidik pertama, pada
masa awal pertumbuhan Islam telah menjadikan Al-Qur’an sebagai dasar pendidikan
Islam disamping Sunnah beliau sendiri.
Kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber pokok pendidikan Islam
dapat dipahami dari ayat Al-Qur’an itu sendiri.
Firman Allah dalam Q.S. Al-Nahl: 64, yang artinya: “Dan Kami tidak menurunkan
kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi petunjuk dan rahmat bagi
kaum yang beriman.”
Kemudian dalam Q.S. Shad: 29, yang artinya: “Ini adalah sebuah kitab yang
Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan
ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
Sehubungan dengan masalah ini, Muhammad
Fadhil Al-Jamali menyatakan sebagai berikut: “Pada hakekatnya Al-Qur’an itu
adalah merupakan perbendaharaan yang besar unuk kebudayaan manusia, terutama
bidang kerohanian. Ia pada umumnya adalah merupakan Kitab pendidikan
kemasyarakatan, moril (akhlak), dan spiritual (kerohanian).
Begitu pula Al-Nadwi mempertegas dengan
menyatakan bahwa pendidikan dan pengajaran umat Islam haruslah bersumberkan
kepada aqidah Islamiyah. Menurut beliau lagi, sekiranya pendidikan umat Islam
itutidak didasarkan kepada aqidah yang bersumberkan kepada Al-Qur’an dan
Al-Hadits, maka pendidikan itu bukanlah pendidikan Islam, tetapi adalah
pendidikan asing.
b.
Sunnah
(Hadits)
Dasar yang kedua setelah Al-Qur’an adalah Sunnah
Rasulullah SAW. Amalan yang dikerjakan rasulullah SAW dalam proses perubahan
hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islamkarena Allah SWT
menjadikan Muhammad SAW sebagai teladan bagi umatnya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Ahzab: 21, yang
artinya: “Di dalam diri Rasulullah itu
kamu bisa menemukan teladan yang baik.”
Nabi mengajarkan dan mempraktekkan sikap dan amal
baik kepada istri dan sahabatnya, dan seterusnyamereka mempraktekan pula
seperti yang dipraktekkan Nabi SAW dan mengajarkan pula pada orang lain.
Perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi SAW inilah yang disebut hadits atau
sunnah.
Konsepsi[11]
dasar pendidikan yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW sebagai berikut:
1)
Disampaikan
sebagai rahmatan lil‘alamin.
2)
Disampaikan
secara universal.
3)
Apa
yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak.
4)
Kehadiran
Nabi sebagai evaluator atau segala aktifitas pendidikan.
5)
Perilaku
Nabi sebagai figur identifikasi (uswah
hasanah) bagi umatnya.
Adanya dasar yang kokoh ini terutama Al-Qur’an dan Sunnah,
karena keabsahan dasar ini sebagai pedoman hidup dan kehidupan sudah mendapat
jaminan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Firman Allah SWT: “Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi orang
yang bertakwa (Q.S. Al-Baqoroh: 2).
Sabda Rasulullah SAW: “Kutinggalkan kepadamu dua perkara (pusaka) tidaklah kamu akan tersesat
selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah
Rasulullah. (H.R. Bukhari dan Muslim).
Prinsip menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai
dasar pendidikan Islam bukan hanya dipandang sebagai kebenaran keyakinan
semata. Lebih jauh kebenaran itu juga sejalan dengan kebenaran yang dapat
diterima oleh akal yang sehat dan bukti sejarah. Dengan demikian barangkali
wajar jika kebenaran itu kita kembalikan kepada pembuktian kebenaran pernyataan
Allah SWT dalam Al-Qur’an.
Kebenaran yang dikemukakan-Nya mengandung kebenaran
yang hakiki, bukan spekulatif dan relatif. Hal ini sesuai dengan jaminan Allah
SWT.
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami
tetap memeliharanya”. (Q.S. Al-Hijr: 9).
Al-Qur’an dan Sunnah disebut sebagai dasar pokok.
c.
Perkataan,
Perbuatan, dan Sikap Para Sahabat
Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan
dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur’an dan Sunnah juga
perkataan, sikap, dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegang
karena Allah sendiri di dalam Al-Qur’an yang memberikan pernyataan.
Firman Allah SWT: “Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam diantara
orang-orang Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, Allah ridho kepada mereka dan merekapun ridho kepada Allah dan Allah
menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya,
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar”. (Q.S. Al-Taubah:
100).
Firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah
kamu bersama-sama dengan orang yang benar.” (Q.S. Al-Taubah: 119).
Para sejarahwan mencatat perkataan sikap para
sahabat-sahabat tersebut yang dapat dijadikan sebagai dasar pendidikan dalam Islam
di antaranya adalah:
1)
Setelah
Abu Bakar dibai’at menjadi khalifah ia mengucapkan pidato sebagai berikut: “hai manusia, saya telah diangkat untuk
mengendalikan urusanmu, padahal aku bukan orang terbaik di antara kamu. Jika
aku menjalankan tugasku dengan baik, ikutilah aku. Tetapi jika aku berbuat
salah, betulkanlah aku, orang yang kamu pandang kuat, saya pandang lemah
sehingga aku dapat mengambil hak daripadanya, sedangkan orang yang kamu pandang
lemah aku pandang kuat sehingga aku dapat mengembalikan haknya. Hendaklah kamu
taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tetapi jika aku tidak
mentaati Allah dan Rasul-Nya, kamu tak perlu taat kepadaku.
Menurut
pandangan Nazmi Luqa, ungkapan Abu Bakar ini mengandung arti bahwa manusia
harus mempunyai prinsip yang sama di hadapan Khaliknya. Selama baik dan lurus
ia harus diikuti, tetapi sebaliknya (kalau ia tidak lurus dan baik) manusia
harus bertanggungjawab membetulkannya.
2)
Umar
bin Khatab terkenal dengan sifatnya yang jujur, adil, cakap, berjiwa demokrasi
yang dapat dijadikan panutan masyarakat. Sifat-sifat Umar ini disaksikan dan
dirasakan sendiri oleh masyarakat pada waktu itu. Sifat-sifat seperti ini
sangat perlu dimiliki seorang pendidik, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai pedagogis dan teladan yang baik yang harus ditiru.
Muhammad
Salih Samak menyatakan bahwa contoh teladan yang baik dan cara guru memperbaiki
pelajarannya, serta kepercayaan yang penuh kepada tugas, kerja, akhlak, dan
agama adalah kesan yang baik untuk sampai kepada pendidikan agama.
3)
Usaha-usaha
para sahabat dalam pendidikan Islam sangat menentukan bagi perkembangan
pendidikan Islam sampai sekarang, di antaranya;
·
Abu
Bakar melakukan modifikasi Al-Qur’an;
·
Umar
bin Khatab sebagai bapak reaktuator terhadap ajaran Islam yang dapat dijadikan
sebagai prinsip strategi pendidikan;
·
Usman
bin Affan sebagai bapak pemersatu sistematika penulisan ilmiah;
·
Ali
bin Abi Thalib sebagai perumus konsep-konsep pendidikan.
Menurut Fazlur Rahman,
para sahabat Nabi memiliki karakteristik yang berbeda dari kebanyakan orang.
Karakteristik yang berbeda itu di antaranya:
a)
Sunnah
yang dilakukan para sahabat tidak terpisah dari sunnah Nabi;
b)
Kandungan
yang khusus yang aktual sunnah sahabat sebagian besar produk sendiri;
c)
Unsur
kreatif dari kandungan merupakan ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma’ berdasarkan petunjuk Nabi terhadap sesuatu yang bersifat
spesifik;
d)
Praktek
amaliah sahabat identik dengan ijma’.
d.
Ijtihad
Setelah jatuhnya kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
berakhir masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin dan digantikan oleh dinasti
Umaiyah. Pada masa ini Islam telah meluas sampai ke Afrika Utara, bahkan ke
Spanyol. Perluasan daerah kekuasaan ini diikuti oleh ulama dan guru atau
pendidik. Akibatnya terjadi pula perluasan pusat-pusat pendidikan yang tersebar
di kota-kota besar, seperti: Makkah dan Madinah (Hijaz), Basrah dan Kuffah (Iran), Damsyik dan Palestina, Fustat
(Mesir).
Dengan berdirinya pusat-pusat pendidikan di atas,
berarti terjadi perkembangan baru dalam masalah pendidikan; sebagai interaksi
nilai-nilai budaya daerah yang ditaklukkan dengan nilai-nilai Islam. Ini
berarti perlunya pemikiran yang mendalam tentang cara mengatasi permasalahannya
yang timbul. Pemikiran yang seperti itu disebut “ijtihad”.
Agaknya Al-Auza’I, Abu Hanifah, dan Imam Malik
sebagai imam-imam mujtahid yang telah ada pada waktu itu, merasa perlu untuk
memecahkan permasalahan yang timbul sebagai akibat interaksi-interaksi
nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang berbeda tersebut dengan menggunakan
ijtihad. Dengan demikian, ijtihad dapat dijadikan sebagai sumber pendidikan,
karena sesuai dengan hikmah Islam.
Karena Al-Qur’an dan Hadits banyak mengandung arti
umum, maka para ahli hukum dalam Islam menggunakan” ijtihad” untuk menetapkan
hukum tersebut. Ijtihad ini terasa sekali kebutuhannya setelah wafatnya Nabi
SAW, dan beranjaknya Islam mulai keluar dari tanah Arab, karena situasi dan
kondisinya banyak berbeda dengan di tanah Arab.
Majelis Muzakarah Al-Azhar menetapkan bahwa ijtihad
adalah jalan yang dilalui dengan semua daya dengan kesungguhan yang diwujudkan
oleh akal melalui ijma’, qiyas, istihsan dengan zhan (mendekati keyakinan)
untuk mengistinbathkan hukum dari pada dalil-dalil Al-Qur’an dan Al-Sunnah
untuk menentukan batas yang ditentukan.
Para fuqaha mengartikan ijtihad dengan berpikir
menggunakan seluruh ilmu yang dimiliki oleh ilmu syariat Islam dalam hal yang
ternyata belum ditegaskan hukumnya oleh Al-Qur’an dan hadits, penetapan hukum
dilakukan dengan ijtihad.
Dari kutipan di atas dapat diambil pengertian bahwa
yang dimaksud dengan ijtihad adalah penggunaan akal pikiran oleh fuqaha Islam
untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan
hadits dengan syarat-syarat tertentu. Ijtihad dapat dilakukan dengan ijma’, qiyas, istihsan, mashalih
mursalah, dan lain-lain.
Ijtihad dalam penggunaannya dapat meliputi seluruh
aspek ajaran Islam, termasuk juga aspek pendidikan.
Ijtihad di bidang pendidikan ternyata semakin perlu,
sebab ajaran Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah, hanya berupa
prinsip-prinsip pokok saja. Bila tenyata ada yang agak terinci, maka rincian
itu merupakan contoh Islam dalam menerapkan prinsip pokok tersebut. Sejak
diturunkan ajaran Islam kepada Nabi Muhammad SAW sampai sekarang, Islam telah
tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh perubahan situasi dan
kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang melalui ijtihad yang dituntut oleh
situasi dan kondisi sosial yang tumbuh dan berkembang pula.
Usaha ijtihad para ahli dalam merumuskan teori
pendidikan Islam dipandang sebagai hal yang sangat penting bagi pengembangan
teori pendidikan pada masa yang akan datang, sehingga pendidikan Islam tidak
melegitimasi status quo serta tidak terjebak dengan ide justifikasi terhadap
khazanah pemikiran para orientalis dan sekularis. Allah sangat menghargai
kesungguhan para mujtahid dalam berijtihad.
Sabda Rasulullah SAW: “apabila hakim telah menetapkan hukum, kemudian dia berijtihad dan
ijtihadnya itu benar, maka dua pahala, akan tetapi apabila ia berijtihad dan
ternyata ijtihadnya salah, maka satu pahala. (H.R. Bukhari Muslim dan Amr
bin Ash).
Al-Qur’an dan Hadits disebut dasar pokok, sedangkan
sikap dan perbuatan para sahabat serta ijtihad disebut sebagai sumber dasar
tambahan. Dasar tambahan ini dapat dipakai selama tidak bertentangan dengan
dasar pokok.
2.
Dasar
Operasional
Dasar operasional merupakan dasar yang terbentuk
sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Langgulung, dasar operasional
dapat dibagi ke dalam enam macam.
a.
Dasar
Historis
Dasar
yang memberikan persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa
lalu, berupa undang-undang dan peraturan-peraturannya maupun berupa tradisi dan
ketetapannya.
b.
Dasar
Sosiologis
Dasar
berupa kerangka budaya dimana pendidikannya itu bertolak dan bergerak, seperti
memindahkan budaya, memilih dan mengembangkannya.
c.
Dasar
Ekonomis
Dasar
yang memberi perspektif tentang potensi-potensi manusia, keuangan, dan
bertanggungjawab terhadap anggaran pembelanjaan.
d.
Dasar
Politik dan Administrasi
Dasar
yang memberi bingkai ideologi (aqidah) dasar yang digunakan sebagai tempat
bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah
dibuat.
e.
Dasar
Psikologis
Dasar
yang memberi informasi tentang watak peserta didik, pendidik, metode yang
terbaik dalam praktek, pengukuran, dan penilaian bimbingan dan penyuluhan.
f.
Dasar
filosofis
Dasar
yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem yang
mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional lainnya.
E.
Asas-asas
Pendidikan Islam
Asas pendidikan
Islam merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir,
baik dalam tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas pendidikan
bisa juga diartikan sebagai aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum
(mata ajar dan metode pengajaran) yang diberikan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi pada ketaatan
syari’at Islam. Ini bertujuan, dengan pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan
kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan
dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterkaitan pada syari’at Islam
dengan peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu
pendidikan.
Aqidah Islam
menjadi asas dari ilmu pengetahuan. Ini bukan berarti semua ilmu pengetahuan
yang dikembangkan harus bersumber pada aqidah Islam, karena memang tidak semua
ilmu pengetahuan lahir dari aqidah Islam. Yang dimaksud adalah, aqidah Islam
harus dijadikan standar penilaian. Ilmu pengetahuan yang bertentangan dengan
dengan aqidah Islam tidak boleh dikembangkan dan diajarkan, kecuali untuk
dijelaskan kesalahannya.
F.
Tujuan
Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan
sistematis yang bertujuan untuk
membentuk manusia yang berkarakter, yakni:
1.
Berkepribadian
Islam, ini sebetulnya merupakan konsekuensi keimanan seorang muslim. Intinya
seorang muslim harus memiliki dua aspek fundamental: yaitu pola pikir
(‘aqliyyah) dan (nafsiyyah) yang berpijak
pada aqidah Islam, untuk mengembangkan kepribadian Islam paling tidak ada tiga
langkah yang harus ditempuh sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah Saw, yaitu:
·
Menanamkan
aqidah Islam kepada seseorang dengan cara yang sesuai dengan kategori aqidah
tersebut, yaitu seperti aqidah aqliyyah: yaitu aqidah yang muncul dari proses
pemikiran yang mendalam.
·
Menanamkan
sikap konsisten dan istoqomah pada orang yang sudah memiliki aqidah Islam agar
cara berpikir dan cara berperilakunya tetap berada di atas
pondasi aqidah yang diyakininya.
·
Mengembangkan
kepribadaian Islam yang sudah terbentuk pada seseorang deengan senantiasa
mengajaknya untuk bersungguh-sungguh mengamalkan ketaatan kepada Allah SWT.
2. Menguasai tsaqafah Islam, Islam
telah mewajibkan setiap muslim untuk menuntut ilmu. Berdasarkan takaran
kewajiban, menurut al-Ghajali, ilmu dibagi dalam dua kategori:
·
Ilmu yang termasuk fardhu’ain (kewajiban individual),
artinya wajib dipelajari setiap muslim, yaitu tsaqafah Islam yang terdiri dari
konsepsi, ide, hukum-hukum Islam, bahasa arab, sirah Nabi Saw, ulumul Qur’an,
tahfidz al-Qur’an, ulumul hadis, ushul fiqih, dll.
·
Ilmu kategori fardhu kifayah (kewajiban kolektif), biasanya
ilmu-ilmu yang mencakup sains dan
teknologi serta ilmu terapan keterampilan, seperti biologi, fisika, kedokteran,
pertanian, teknik, dll
3. Menguasai ilmu kehidupan (IPTEK).
Menguasai IPTEK diperlukan agar umat Islam mampu mencapai kemajuan material
sehingga dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah allah dimuka bumi dengan
baik. Islam menetapkan pengusaan sains sebagai fardlu kifayah, yaitu karena
ilmu-ilmu tersebut sangat diperlukan umat Islam, seperti kedokteran, kimia,
fisika, industri, penerbangan, biologi, teknik, dll.
4. Memiliki keterampilan yang memadai.
Penguasaan ilmu-ilmu teknik dan praktis serta latihan-latihan keterampilan dan
keahlian merupakan salah satu tujuan pendidikan Islam, yang harus dimiliki umat
Islam dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah SWT
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pendidikan Islam
adalah suatu proses edukatif yang mengarah kepada pembentukan akhlak atau kepribadian.
Pendidikan Islam
berorientasi kepada duniawi dan ukhrawi. Di dalam Islam, akhirat merupakan
kelanjutan dari dunia, bahkan suatu mutu akhirat adalah konsekwensi dari mutu
kehidupan dunia. Segala perbuatan muslim dalam bidang apapun memiliki kaitan
dengan akhirat.
Kata Islam yang
berada di belakang kata pendidikan, menunjukkan bahwa pada dasarnya prinsip
pendidikan Islam itu sama dengan prinsip dalam ajaran Islam pada khususnya.
Dengan kata lain bahwa yang dimaksud prinsip pendidikan Islam adalah
prinsip-prinsip ajaran Islam yang digunakan dalam merumuskan dan melaksanakan
ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini sifatnya permanen karena merupakan ajaran,
dan karenanya tidak boleh dihilangkan atau diubah, karena ketika prinsip
tersebut dihilangkan atau diubah, maka menghilangkan sifat dan karakter
pendidikan Islam tersebut. Prinsip tidak boleh berubah, namun cara untuk
memperjuangkan tercapainya prinsip tersebut boleh berubah atau disesuaikan
dengan perkembangan zaman atau kebutuhan lokal.
Dasar pendidikan
Islam yang dikemukakan oleh Ahmad D. Marimba, adalah Al-Qur’an dan
hadits-hadits Nabi SAW yang merupakan sumber pokok ajaran Islam. Al-Syaibani
memperluas lagi dasar tersebut mencakup ijtihad, pendapat, peninggalan,
keputusan-keputusan, dan amalan-amalan para ulama yang terdahulu (assalafusshaleh) dikalangan umat Islam.
Ini berarti, semua perangkat pendidikan Islam haruslah ditegakkan di atas
ajaran Islam, baik filsafat pendidikan, teori, maupun praktek.
Asas pendidikan
Islam merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir,
baik dalam tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Asas pendidikan
bisa juga diartikan sebagai aqidah Islam. Aqidah menjadi dasar kurikulum
(mata ajar dan metode pengajaran) yang diberikan oleh negara. Aqidah Islam berkonsekuensi pada ketaatan
syari’at Islam. Ini bertujuan, dengan pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan
kurikulum harus terkait dengan ketaatan pada syari’at Islam. Pendidikan
dianggap tidak berhasil apabila tidak menghasilkan keterkaitan pada syari’at Islam
dengan peserta didik, walaupun mungkin membuat peserta didik menguasai ilmu
pendidikan.
Pendidikan Islam
merupakan upaya sadar, terstruktur, terprogram dan sistematis yang bertujuan untuk membentuk manusia yang
berkarakter.
B.
Saran
Seorang
mu’min tidak akan merasa puas dengan kebaikan dan ilmu yang diterimanya,
sehingga syurga menjadi tempat kepuasannya.[12]
Pelajarilah
segala jenis bidang ilmu dengan baik dan didasari oleh aqidah Islam. Karena,
barangsiapa yang menempuh perjalanan untuk menuntut ilmu, maka Allah memudahkan
baginya ke jalan menuju syurga.[13]
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abudin. 2010. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Ramayulis.
2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta:
Kalam Mulia.
Rifai, Moh.. 1986. Akhlaq Seorang Muslim Terjemahan dari Kitab Khuluqul
Muslim karya Muhammad Al Ghazali. Semarang: CV. Wicaksana.
LAMPIRAN
Salinan Cover Buku yang
dijadikan Referensi
[1] Rifai, Moh.. 1986. Akhlaq
Seorang Muslim Terjemahan dari Kitab Khuluqul Muslim Karya Muhammad Al Ghazali.
Semarang: CV. Wicaksana. Hal. 444-445.
[2] Prof. DR. H. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2004), h.2-3
[3] Ibid, h. 3.
[4] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 30.
[5] Prof. DR. H Ramayulis, Op. Cit., h. 3.
[6] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 5-7.
[7] Prof. DR. H. Ramayulis, Ibid, h. 7
[8] Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A., Op. Cit., h. 102
[9] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 8-16
[10] Prof. DR. H. Ramayulis, Op. Cit., h. 53-62
[11] Konsepsi: rancangan yang telah ada dalam pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar