FC Barcelona
PENGETAHUAN BAGI ISLAM BAGAIKAN RUH (NYAWA) BAGI MANUSIA (MUHAMMAD AL GHAZALI (1970), KHULUQUL MUSLIM: 445).

Sabtu, 24 September 2016

Makalah Psikologi Agama: Konsep Manusia Menurut Psikologi Behavioristik

Sebagai suatu disiplin ilmu, psikologi amat penting bagi kehidupan manusia, mengingat obyek kajian psikologi adalah perilaku manusia. Dapat dikatakan bahwa mempelajari perilaku manusia berarti melakukan pengkajian yang amat mendasar dalam hidup manusia. Manusia eksis dan membangun diri, membangun masyarakat dan melahirkan karya besar bagi peradaban dunia, yang keseluruhannya tidak dapat terlepas dari perilaku manusia. Sebaliknya, manusia bisa terpuruk pada kehancuran, kemunduran dan keterbelakangan juga karena ulah perilakunya sendiri.

Pengkajian terhadap perilaku manusia merupakan upaya untuk mengungkapkan makna asasi dari eksistensi kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan latar belakang kehidupan, motivasi, harapan-harapan, tujuan manusia sebagai individu maupun tujuan dan harapan dari lingkungan, kondisi psikis, dan bahkan keyakinan yang dianut oleh individu. Oleh karena itu, pengkajian dan interpretasi terhadap perilaku manusia dalam kenyataannya amat dipengaruhi oleh aspek ontologis yang dianut oleh orang atau kelompok yang melakukan penelaahan terhadap perilaku manusia. Perbedaan sudut pandang dalam melihat makna hakiki fenomena perilaku, atau perbedaan pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia, dengan sendirinya akan melahirkan interpretasi yang amat berbeda dalam menelaah perilaku manusia. Dari perbedaan ini, dalam sejarah perkembangannya psikologi melahirkan beberapa aliran, seperti aliran Psikologi analisa, aliran tingkah laku (behaviorism), dan aliran psikologi humanistik, yang masing-masing memiliki konsep dasar penelaahan perilaku yang khas. Tulisan ini akan mengupas pemahaman konsep manusia yang mengacu pada pandangan psikologi berhavioristik sebagai salah satu bahan acuan untuk memahami hakekat manusia yang lebih utuh serta upaya dalam meninjau manusia dari sudut pandang yang lain, dalam hal ini konsep Islam.
Konsep manusia menurut aliran behavioristik
Aliran behaviorisme melahirkan pendekatan yang sangat kontradiktif dengan aliran yang mendahuluinya, yaitu aliran psikoanalisa, yang memandang bahwa manusia sangat dipengaruhi oleh insting tak sadar dan dorongan-dorongan nafsu rendah. Aliran ini tidak mengakui konsepsi ketidaksadaran/kesadaran yang menjadiu inti dari psikoanalisa, namun lebih memandang aspek stimulasi lingkungan yang bisa membentuk perilaku manusia dengan sesuka hati lingkungan eksternal itu. Penjelasan terbentuknya perilaku manusia beranjak dari penelitian yang bersifat obyektif-empirik dan rasional melalui tingkah lakku yang secara nyata dapat diamati dan diukur. Aliran ini menolak pendekatan psikoanalisa yang bersifat subyektif, karena dianggap terlalu hipotesis dan intuitif tanpa dukungan temuan yang bersifat empiris. Sementara itu, asumsi-asumsi dalam psikologi behavioristik melalui eksperimen- eksperimen dengan hewan sebagai subyek penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pola dasar perilaku manusia dan proses perubahannya.
Pelopor aliran behaviorisme, John Broadus Watson, melalui studi eksperimen menjelaskan konsep kepribadian dengan mempelajari tingkah laku manusia yang mengacu pada konsep stimulus-respons. Ia mengganti konsep kesadaran dan ketidaksadaran dengan istilah stimulus, response dan habit. Stimulus selanjutnya dimaknakan sesuatu yang dapat dimanipulasi atau direkayasa lingkungan sebagai upaya membentuk perilaku manusia melalui respons yang muncul sebagaimana yang diharapkan lingkungan, sedangkan habit adalah hasil pembentukan perilaku tersebut.
Pemikiran Watson ini banyak dipengaruhi oleh pendapat Ivon Pavlov, seorang ahli faal dari Rusia tentang conditioned response dalam classical conditioning (pembiasaan klasik). Temuan Pavlov menunjukkan bahwa suatu stimulus akan menimbulkan respons tertentu apabila stimulus itu sering diberikan bersamaan dengan stimulus lain yang secara alamiah menimbulkan respons tersebut. Pemasangan bel yang selalu dibunyikan bersamaan dengan pemberian makanan pada seekor anjing lama kelamaan akan menimbulkan air liur pada anjing itu sekalipun makanan tidak diberikan. Dalam hal ini perubahan perilaku terjadi karena adanya asosiasi antara kedua stimulus tersebut. Temuan eksperimen pada hewan ini mengilhami Watson dalam menganalisa terbentuknya tingkah laku manusia berdasarkan kesatuan antara stimulus-respons, yang diawali dengan respons dasar yang disebut refleks. Refleks sampai dengan refleks atau gerakan yang lebih kompleks karena adanya proses asosiasi antara reaksi terhadap sensasi dengan obyek yang ada di lingkungan dan diberi pemahaman tertentu menurut Watson meliputi reaksi yang sederhana misalnya kedipan mata karena desiran angin sebagai reaksi terhadap sensasi dari lingkungan (stimulus yang bersifat alamiah),. Pemahaman inilah yang kemudian menghasilkan respons.
Selanjutnya Watson menemukan hubungan antara prisnip ini dengan terjadinya suatu pola perilaku tertentu sebagai akibat dari perkembangan respons dasar dalam menerima stimulus yang semakin banyak dan semakin kompleks. Hal ini dimungkinkan melalui proses sensasi dan persepsi atas sensasi itu, yang diwarnai oleh perasaan dan emosi yang tergugah pada saat itu dan kemudian diolah melalui proses berpikir. Semua ini dikendalikan oleh proses faali otak dan susunan syaraf. Dalam perkembangannya proses interaksi stimulus-respons akan sampai pada taraf yang terintegrasi membentuk perilaku yang utuh. Dengan demikian aliran ini berpandangan bahwa manusia adalah hasil dari suatu rekayasa yang dibentuk oleh stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungan yang diterima selama hidupnya, sehingga membentuk pola perilaku tertentu. Watson mengungkapkan bahwa kepribadian seseorang merupakan himpunan aneka respons yang dapat diungkap melalui pengamatan terhadap tingkah laku dalam waktu yang cukup lama. Kepribadian hanyalah merupakan hasil akhir dari berbagai sistem kebiasaan.
Prinsip perubahan perilaku ditemukan Edward Thorndike, salah seorang perintis aliran behaviorisme lainnya, melalui kajian hukum sebab-akibat atau law of effect. Thorndike mengemukakan bahwa perilaku manusia yang mengikuti hukum sebab-akibat karena sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptkan oleh lingkungan. Artinya, perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang memuaskan bagi pelaku cenderung akan diulangi, sebaliknya perilaku yang menimbulkan akibat-akibat yang tidak memuaskan atau merugikan cenderung akan dihentikan. Prinsip perubahan perilaku ini kemudian oleh B.F. Skinner yang terkenal dengan “operant conditioning”-nya.

B.F. Skinner selain mengacu kepada pemikiran Thorndike, ia pun menggunakan gagasan Watson tentang konsep stimulus-respons dalam mengembangkan teori-teori proses belajar dan perekayasaan perilaku manusia. Skinner melalui studi eksperimen di laboratorium membdekan antara perilaku operan (operant behavior) dan perilaku responden (respondent behavior). Perilaku responden secara langsung dapat dikendalikan oleh stimulus. Dalam hal ini dapat disamakan dengan respons dasar pada pemikiran Watson, sedangkan perilaku operan terbentuk karena kehendak individu sendiri pada saat menyesuaikan diri dengan lingkungan. Artinya, stimulus yang diberikan pada perilaku tertentu tidak memaksa individu untuk berperilaku seperti itu. Skinner yakin bahwa terbentuknya suatu perilaku pada manusia dapat diatur atu dibentuk seperti yang dilakukan pada pembiasaan perilaku tertentu pada hewan. Skinner mengutarakan bahwa dasar utama dalam terbentuknya perilaku manusia disebabkan karena adanya penguat (reinforcement) yang datang dari lingkungannya. Pembiasaan perilaku yang menjadi mantap apabila perilaku yang ditampilkan menghasilkan hal-hal yang diinginkan individu (penguat positif), yakni perilaku yang menimbulkan akibat yang memuaskan hilangnya hal-hal yang tak diinginkan (penguat negatif). Di lain pihak suatu pola perilaku tertentu akan menghilang apabila perilaku itu mengakibatkan dialaminya hal-hal yang tak menyenangkan (hukuman), atau mengakibatkan hilangnya hal-hal yang menyenangkan individu (penghapusan). Dalam hal ini perilaku manusia terbentuk karena adanya penguat (reinforcement) yang biasa berperan sebagai penguat positif (positive reinforcer) atau penguat negatif (negative reinforcer). Skinner sampai pada kesimpulan bahwa perilaku manusia terjadi karena pengaruh dan pengaturan dari linkungan melalui prinsip penguatan, sedangkan proses mental individu sama sekali tidak berperan.
Pembentukan perilaku manusia dapat pula terjadi karena proses peneladanan (modelling) seperti yang dikemukakan oleh Albert Bandura. Dalam kehidupan sosial perubahan perilaku terjadi karena proses peneladanan terhadap perilaku orang lain yang dikagumi dan disenangi. Dalam perilaku ini, individu mengidentifikasikan diri pada suatu model, mencanangkan tujuan-tujuan pribadi yang akan dicapai dan melakukan self reinforcement untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Selain konsep stimulus-respons, unsur individu lebih berperan daripada unsur reinforcement oleh karenanya perubahan perilaku dapat terjadi tanpa penguatan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aliran behaviorisme sangat mengagungkan pengaruh lingkungan dalam membentuk perilaku manusia. Manusia dapat dikatakan bersifat pasif, karena tergantung dari perlakuan yang diberikan lingkungan kepadanya. Konsep manusia dipelajari melalui pengalaman dan pemeliharaan perilakunya dilakukan sehubungan dengan usahanya menyesuaikan diri dengan stimulus lingkungan. Aliran ini tidak mempertimbangkan alasan-alasan atau proses yang terjadi dalam diri individu. Terdapat empat hal utama yang menjadi pokok perhatian dalam menelaah konsep manusia, yaitu: 1) sensasionalisme, dihipotesakan bahwa semua perilaku terjadi melalui pengalaman sensori; 2) reduksionisme, semua perilaku termasuk perilaku yang kompleks dapat dijelaskan melalui konsep sederhana yang mengikuti konsep konsep stimulus-respons; 3) asosiasisme, bahwa semua perilaku termasuk proses mental terjadi karena adanya hubungan asosiasi yang kuat akibat perlakuan yang berulang-ulang; 4) mekanisme, bahwa unsur-unsur kejiwaan manusia dapat disamakan dengan “mesin” yang terbentuk dari proses sederhana stimulus-respons dan diatur lingkungan tanpa mempertimbangkan komponen misterius dalam diri manusia.

Kritik kesejalanan dengan konsep Islam
Menyoroti lintasan sejarahnya, psikologi sebagai disiplin ilmu lahir dan berkembang dari peradaban dunia Barat. Oleh karena itu, psikologi berkembang atas landasan ilmiah empiris-sekuler yang tak berjiwa, sehingga pada saat menelaah dimensi-dimensi perilaku manusia yang supra empiris, dimensi spiritual dan dimensi religius menghasilkan interpretasi yang banyak mengandung kekosongan. Sejalan dengan kekosongan ini, muncul ajakan-ajakan untuk mengembangkan psikologi Islami yang seyogianya diarahkan pada pengembangan psikologi yang koheren dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan sendirinya landasan, tujuan, ruang lingkup, metode dan fungsinya harus relevan dengan kebenaran yang bersumber dan berpijak pada wahyu Allah. Psikologi Islami diharapkan akan mengkaji perilaku dengan mempertimbangkan jiwa dan badan, di mana perilaku manusia merupakan cerminan kepribadiannya. Ekspresi hanyalah salah satu fenomena kejiwaan. Dalam merumuskan manusia, psikologi Islami hendaknya melihat manusia tidak semata-mata dari perilaku yang dapat diobservasi saja, atau hanya bersifat spekulasi tentang apa dan siapa manusia. Pengkajian manusia seherusnya dimulai dengan rumusan manusia menurut Tuhan. Perlu disadari adanya kompleksitas dalam diri manusia di mana hanya Sang Pencipta-lah yang mampu memahami dan mendeskripsikan kompleksitas tersebut. Dengan demikian psikologi Islami dalam menguraikan konsep manusia tidak semata-mata mendasarkan diri pada perilaku manusia, akan tetapi melalui dalil-dalil tentang perilaku manusia berdasarkan firman Tuhan.
Mengacu pada pandangan al-Ghazali tentang al-Qur'an mengenai manusia, Hanna Djumhana Bastaman menandai wawasan Islam mengenai manusia sebagai berikut:
a. al-Qur'an memberi penghargaan yang cukup tinggi terhadap martabat umat manusia dengan julukan kehormatan yang diberikan kepada manusia sebagai “khalifah di bumi”.
b. Fitrah manusia adalah suci dan beriman.
c. Al-Qur'an menyatakan adanya ruh pada manusia di samping raga dan jiwanya. Ruh ini sudah ada sebelum manusia dilahirkan, selama ia masih hidup, dan setelah berpulang.
Ketiga hal ini yang membedakan antara wawasan Islami dengan wawasan filsafat dan teori psikologi yang ada. Landasan ini menunjukkan bahwa kajian psikologi Islami hendak meliputi dimensi ruhani (spiritual-imani) selain dimensi ragawi (fisik-biologis), dimensi kejiwaan (psikologis) dan dimensi lingkungan (sosio-kultural). Dimensi ruhani yang dimaksud bukanlah ruh jenis tetumbuhan (an-nafs al-nabatiyah) atau ruh hewan (an-nafs al-hayawaniyah) dan juga bkan hasrat-hasrat rendah (al-hawa), melainkan sejenis ruh yang teramat halus dan luhur yang dikaruniakan Allah kepada manusia semata. Tujuannya, agar manusia mempunyai hubungan ruhaniah dengan sang pemilik ruh itu: Allah Ta’ala. Demikian pula dengan akal (al-aql), hati (al-qalb), dan an-nafs yang keseluruhannya menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pengkajian perilaku manusia dalam psikologi Islami.
Aliran behaviorisme mempelajari terbentuknya perilaku manusia atas dasar konsep stimulus-respons yang berarti perilaku manusia sangat terkondisi oleh lingkungan. Upaya rekaya dan kondisi lingkungan luar dianggap sebagai hal yang amat mempengaruhi dan menentukan perilaku serta kepribadian manusia. Satu-satunya motivasi yang mendorong manusia bertingkah laku adalah penyesuaian diri dengan lingkungan. Konsep ini mengisyaratkan bahwa ketika dilahirkan manusia tidak membawa bakat apa-apa dan mengingkari potensi alami manusia. Aliran behaviorisme menolak determinan perilaku manusia yang disebabkan karena proses mental dalam diri manusia, karena manusia berkembang atas dasar stimulasi atau rekayasa dari lingkungannya. Dengan demikian, manusia bersifat pasif tergantung dari perlakuan lingkungannya. Lingkungan yang buruk akan menghasilkan manusia yang buruk, sebaliknya lingkungan yang baik akan menghasiulkan manusia yang baik. Pandangan ini beranggapan bahwa manusia tidak memiliki kesempatan untuk menentukan dirinya sendiri, karena yang sangat menentukan adalah lingkungannya. Oleh karena itu, aliran ini mempunyai kecenderungan untuk mereduksi manusia. Artinya, manusia tidak memilki jiwa, tidak memiliki kemauan dan kebebasan untuk menetapkan perilakunya sendiri. Manusia dianggap sebagai “mesin” yang bergerak karena perlakuan dari orang lain (lingkungan) dan terbentuk karena pengaruh dari faktor penguat berupa ganjaran dan hukuman. Konsep manusia diyakini dapat diamati dan diukur melalui pendekatan terhadap persoalan fisik dan teknis. Manusia hanya dianggap sebagai obyek yang cukup diamati saja, tak perlu diwawancarai untuk memperoleh informasi tentang dirinya, perasaan-perasaannya serta hasrat dan keinginannya. Kompleksitas dan keunikan manusia dipandang sebagai suatu yang simpel oleh aliran behaviorisme.
Selain itu, alian behaviorisme memandang bahwa perilaku manusia terbentuk karena adanya pengaruh dari reinforcement. Dalam hal ini tidak diperbincangkan adanya makna perilaku baik dan buruk, kecuali hasil dari reinforcement sebagai penguat positif atau negatif. Konsep benar dan salah tidak diperhitungkan dalam kajian tentang perilaku manusia. Etika, moral, dan nilai-nilai hanyalah hasil proses belajar asosiatif. Satu-satunya ukuran kebenaran adalah berlangsungnya hidup peradaban. Perilaku “baik dan buruk” dan perilaku “salah dan benar” tidaklah disebabkan karena kebaikan atau keburukan yang nyata-nyata ada dalam situasi, dan tidak pula disebabkan oleh pengetahuan tentang benar dan salah, halal atau haram, tetapi lebih disebabkan karena adanya kemungkinan yang melibatkan berbagai macam penguat positif atau negatif, karena adanya ganjaran dan hukuman.
Dengan demikian yang sama antara perilaku pada hewan dan perilaku manusia yang kompleks, maka dasar pemikiran yang bersifat analogi ini dianggap terlalu ceroboh mengingat tentunya ada perbedaan- perbedaan yang mendasar antara hewan dan manusia. Bahkan beberapa penganut aliran behaviorisme mengatakan bahwa kepercayaan manusia terhadap Tuhan dan upacara ritual untuk mengagungkan-Nya, dapat disamakan dengan perilaku takhayul dari burung dara kelaparan yang secara terus menerus mengulangi gerakan khusus berdasarkan prinsip reinforcement. Oleh karenanya, kehidupan beragama seseorang pun dapat disusutkan menjadi refleks-refleks dan respons-respons yang terkondisi.
Perilaku manusia mengikuti hukum sebab-akibat, di mana sebab-sebab itu sendiri dapat dikontrol dan diciptakan. Dengan demikian manusia memiliki kemampuan tidak hanya sekadar menyesuaikan diri dengan lingkungan, namun juga mampu mengatur kehidupan diri dan lingkungannya. Dengan kemampuan mengatur lingkungan, maka dimungkinkan manusia untuk mampu melakukan perubahan besar terhadap arah kehidupannya. Dalam hal ini kiranya perlu dipertimbangkan bahwa manusia sebagai makhluk hedonis yang mencari kenikmatan dan cenderung mengulangi perilaku-perilaku yang memuaskan dirinya dianggap terlepas dari perilaku benar dan salah, padahal manusia juga memiliki kehendak untuk mengabdi pada Tuhannya dengan tulus, ikhlas, dan penuh kepasrahan. Pandangan ini mengangkat derajat manusia ke tempat yang teramat tinggi. Ia miliki kebebasan penuh untuk berbuat sesuatu yang dianggap baik dan sesuai bagi dirinya.
Muncul pertanyaan, apa yang dapat dimanfaatkan dari pandangan konsep manusia menurut aliran behaviorisme? Para ahli aliran psikologi behavioristik melalui penelitian-penelitian eksperimentalnya berhasil menemukan kaidah-kaidah belajar yang melandasi perubahan perilaku. Hal ini dapat dijadikan acuan dalam kegiatan pendidikan, psikoterapi, pembentukan kebiasaan, perubahan sikap, dan penertiban sosial mengingat adanya kekuatan yang menunjukkan betapa kuatnya pengaruh lingkungan dan perencanaan lingkungan terhadap perilaku manusia. Kaidah-kaidah dan hukum-hukum belajar secara positif dapat direkayasa untuk mengubah perilaku sesuai dengan perilaku yang tergolong “baik dan benar” dikaitkan dengan nilai-nilai yang berlaku.
Kaidah dan hukum belajar ini dapat dianggap sebagai keunggulan dari aliran behavioristik dalam menelaah konsep manusia dikaitkan dengan salah satu fenomena sunnatullah, yaitu bahwa manusia dapat mengubah nasib dirinya. Petunjuk Tuhan bagi mereka yang ingin mengubah nasib dirinya tentunya dapat menggunakan metode dan teknik belajar dengan memanfaatkan temuan-temuan aliran behavioristik. Selain itu diketahui pula bahwa belajar merupakan kewajiban bagi setiap Muslim seperti yang diungkapkan dalam al-Qur'an.

Daftar Pustaka
Al-Aqqad, Abbas Mahmud. 1986. Manusia Diungkap al-Qur'an. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Ancok, Djamaludin., dan Fuat Nashori Suroso. 1995. Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar.
Bastaman, Hanna Djumhana. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam. Cetakan kedua. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar dengan Yayasan Insan Kamil.
Goble, Frank G. 1987. Mazhab Ketiga-Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Hall, Calvin S, and Gardner Lindzey. 1970. Theories of Personality. Second edition. New York: John Wiley and Sons, Inc.
Rifat, Syauqi Nawawi. 1996. Konsep manusia menurut al-Qur'an. Makalah. Disampaikan pada Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Schultz, Duane. 1981. Theories of Personality. Second edition. California: Brooks/Cole Publishing Company, Monterey.
Sumintardja, Elmira N. 1996. Konsep manusia menurut Psikologi Modern. Makalah. Disampaikan pada Simposium Nasional Psikologi Islam di Universitas Padjadjaran. Bandung.
Wulff, David M. 1997. Psychology of Religion, Classic and Contemporary. Second edition. New York: John Wiley & Sons, Inc

Jumat, 23 September 2016

Makalah Psikologi Belajar: Kesulitan Belajar

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orangtua pastinya tidak menginginkan terjadinya masalah dalam pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Namun kenyataannya, sebagian manusia yang dilahirkan ke dunia ini mengalami pertumbuhan atau perkembangan yang tidak normal baik secara fisik ataupun psikis sehingga untuk mengembangkan potensinya diperlukan adanya layanan pendidikan khusus (Kirk & Galleger,1989).
Setiap siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja akademik (academic performance) yang memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian, siswa-siswa yang berkategori di luar rata-rata itu (sangat pintar dan sangat bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi.
Selain itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
Permasalahan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak juga dapat menimbulkan terjadinya permasalahan dalam tingkah laku anak. Hal ini dapat terjadi akibat faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri (faktor intern)  maupun faktor dari luar (faktor ekstern).
Salahsatu perkembangan yang menyimpang adalah autisme. Dimana anak mengalami gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut aspek komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas jasmani (Suryana, 2004).




B. Rumusan Masalah
1.      Apakah yang menjadi penyebab permasalahan dalam belajar dan bagaimanakah solusinya?
2.      Apa yang menyebabkan permasalahan dalam tingkah laku dan apa solusinya?
3.      Apakah yang dimaksud dengan autisme?

C. Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab permasalahan dalam belajar dan bagaimana solusinya.
2.      Untuk mengetahui yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam tingkah laku dan bagaimana solusinya.
3.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan autisme.




























BAB II
PEMBAHASAN
A. Permasalahan Belajar
Permasalahan dalam belajar terjadi bilamana seorang siswa mengalami kesulitan dalam belajar.
1. Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni:
a. faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
b. faktor ekstern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.
a. Faktor Intern Siswa
Faktor intern siswa meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1) yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas intelektual/inteligensi siswa;
2) yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap;
3) yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
b. Faktor Ekstern Siswa
Faktor ekstern siswa meliputi semua situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar siswa.
Faktor lingkungan ini meliputi:
1) lingkungan keluarga, contohnya, ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2) lingkungan perkampungan masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3) lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas rendah.
Selain faktor-faktor yang bersifat umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan belajar siswa. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disabillity (ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas:
1) Disleksia (dyslexia), yakni ketidakmampuan belajar membaca;
2) Disgrafia (dysgraphia),yakni ketidakmampuan belajar menulis;
3) Diskalkulia (dyscalculia), yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Namun demikian, siswa yang mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ yang normal bahkan di antaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).
2. Diagnosis Kesulitan Belajar
Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi upaya mengenali gejala dengan cermat terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menerapkan "jenis penyakit" yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai "diagnostik" kesulitan belajar.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai berikut:
1) melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran;
2) memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar;
3) mewawancarai orangtua atau wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar;
4) memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami siswa;
5) memberikan tes kemampuan intelegensi (lQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5 (tes IQ). Untuk keperluan tes lQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar itu ber-lQ jauh di bawah normal (tuna grahita), orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan khusus anak-anak tuna grahita (sekoiah luar biasa), karena lembaga/sekolah biasa tidak menyediakan tenaga pendldik dan kemudahan belajar khusus untuk anak-anak abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umpamanya dimasukkan ke lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke "pesantren" khusus pecandu narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia sebagaimana yang telah diuraikan, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya bertugas menangani para siswa pengidap sindrom-sindrom tadi di samping melakukan remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Sayangnya di sekolah-sekolah kita, tidak seperti di kebanyakan sekolah negara-negara maju, belum menyediakan guru-guru  pendukung. Namun, untuk mengatasi kesulitan karena tidak adanya support teachers itu orang tua siswa dapat berhubungan dengan biro konsultasi psikologi dan pendidikan yang biasanya terdapat pada fakultas psikologi dan fakultas keguruan terkemuka di kota-kota besar tertentu.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni:
1)   Faktor internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan kondisi jasmani dan rohani siswa;.
2)   Faktor eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa
3)   Faktor pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Faktor-faktor di atas dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain. Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari orangtuanya (faktor eksternal), mungkin akan memiiih pendekatan belajar yang lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh faktor-faktor tersebut di ataslah, muncul siswa-siswa yang high-achievers (berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi rendah) atau gagal sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan profesional diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.

1) Faktor Internal Siswa
Faktor yang berasal dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni: 1) aspek fisiologis (yang bersifat jasmaniah); 2) aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
a. Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta (kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas. untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab kesalahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri.
Kondisi organ-organ khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat, juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam penglihatan siswa yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic (gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut.
Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga di atas, anda selaku guru yang profesional seyogianya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memperoleh bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan penglihatan siswa-siswa tertentu itu ialah dengan menempatkan mereka di deretan bangku terdepan secara bijaksana. Artinya, anda tidak perlu menunjukkan sikap dan alasan (apalagi di depan umum) bahwa mereka ditempatkan di depan kelas karena kekurangbaikan mata dan telinga mereka. Langkah bijaksana ini perlu diambil untuk mempertahankan self-esteem dan self-confidence siswa-siswa khusus tersebut. Kemerosotan self-esteem dan self-confidence (rasa percaya diri) seorang siswa akan rnenimbulkan frustrasi yang pada gilirannya cepat atau lambat siswa tersebut akan menjadi under-achiever atau mungkin gagal, meskipun kapasitas kognitif mereka normal atau lebih tinggi daripada teman-temannya.

b. Aspek Psikologis
Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat menpengaruhi kuantitas dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut: 1) tingkat kecerdasan/ inteligensi siswa; 2) sikap siswa; 3) bakat siswa; 4) minat siswa; 5) motivasi siswa.
Inteligensi Siswa
Inteligensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988). Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan "menara pengontrol" hampir seluruh aktivitas manusia.
Tingkat kecerdasan atau inteligensi (lQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.
Selanjutnya, di antara siswa-siswa yang mayoritas berinteligensi normal itu mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangart berbakat (IQ di atas 130). Di samping itu, mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata (lQ 70 ke bawah). Menghadapi situasi seperti ini, apa yang sebaiknya anda lakukan?
Setiap calon guru dan guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan inteligensi siswa, baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline, lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya. Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara tidak adil. Di sisi lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya merasa bosan dan frustrasi seperti yang dialami rekannya yang luar biasa positif tadi.
Untuk menolong siswa yang berbakat, sebaiknya anda menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi daripada kelasnya sekarang. Kelak, apabila ternyata di kelas barunya itu dia masih merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat kesulitan mata pelajarannya sesuai dengan tingkat inteligensinya. Apabila cara tersebut sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil, misalnya dengan cara mengarahkan siswa tersebut kepada lembaga pendidikan khusus untuk para siswa berbakat.
Sementara itu, untuk menolong siswa yang berkecerdasan dibawah normal, tak dapat dilakukan sebaliknya yakni dengan menurunkan ke kelas yang lebih rendah. Sebab, cara penurunan kelas seperti ini dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat psiko-sosial yang tidak hanya mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu adik-adik barunya.
Oleh karena itu, tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah dengan cara memindahkan siswa penyandang inteligensi tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak penyandang "kemalangan" IQ. Sayangnya, lembaga pendidikan khusus anak-anak malang seperti juga lembaga pendidikan khusus anak-anak cemerlang, di negara kita baru ada di kota-kota besar tertentu saja.

Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespons (response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif. Sikap (attitude) siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi jika diiringi kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu pengetahuan yang bersifat conserving walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang dicapai siswa akan kurang memuaskan.
Untuk mengantisipasi kemungkinan nunculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di atas, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya.dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan kepada para siswa akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Dengan meyakini manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya, dan dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap bidang studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.

Bakat Siswa
Secara umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang utnuk mencapai keberhasilanpada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; Reber, 1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara globa bakat itu mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.
Dalam perkembangan selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu untuk melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan jauh lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian disebut bakat khusus (specific aptitude) yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir.
Sehubungan dengan hal di atas, bakat akan dapat mempengaruhih tinggi rendahnya prestasi belajar bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana apabila orangtua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki anaknya. Pemaksaan kehendak pada seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan tertentu yang sebenarnya bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi belajarnya.

Minat Siswa
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut Reber (1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti: pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Namun terlepas dari masalah populer atau tidak, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya mencapai prestasi yang diinginkan. Guru dalam kaitan ini seyogianya berusaha membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam bidang studinya dengan cara yang kurang lebih sama dengan kiat membangun sikap positif.

Motivasi Siswa
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia maupun hewan yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988).
Dalam perkembangan selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Misalnya, untuk kebutuhan masa depan siswa tersebut.
Adapun motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru dan seterusnya, merupakan contoh konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal, akan menyebabkan kurang semangatnya siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam perspektif psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan untuk mencapai prestasi dan dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga memberi pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.

2) Faktor Eksternal Siswa

Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.

Lingkungan Sosial
Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan berdiskusi dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Selanjutnya yang termasuk lingkungan sosial adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh (slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya, akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
Lingkungan sosial yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberdampak baik ataupun buruk terhadap kegiatan beLajar dan hasil yang dicapai oleh siswa. Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua siswa dalam mengelola keluarga (family management practice) yang keliru, seperti kelalaian orang tua ,dalam memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal ini, bukan saja anak tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku menyimpang, terutama perilaku menyimpang yang berat seperti antisosial (Patterson & Loeber, 1984).

Lingkungan Nonsosial
Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat beIajar, keadaan cuaca dan waktu belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa.
Rumah yang sempit dan berantakan serta perkampungan yang terlalu padat,dan tak memiliki sarana umum untuk kegiatan remaja (seperti lapangan voli) misalnya, akan mendukung siswa untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi. Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap kegiatan belajar siswa.
Khusus mengenai faktor yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (1980) berpendapat bahwa belajar pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya. Namun, menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada pilihan waktu,yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn et al, 1986). Di antara siswa ada yang siap belajar pagi hari, ada pula yang siap pada sore hari, bahkan tengah maiam. Perbedaan antara waktu dan kesiapan belajar inilah ,yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Namun demikian, menurut hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari. Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil memhaca pun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi hari dan dites pada sore hari ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan dites pada saat yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (Syah, 1990).
Dengan demikian, waktu yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap, mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari siswa tersebut.

3) Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar, dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu. Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu (Lawson, 1991).
Di samping faktor-faktor internal dan eksternal siswa sebagaimana yang telah dipaparkan di muka, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan proses belajar siswa tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan pendekatan belajar deep misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk meraih prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan pendekatan belajar surface atau reproductive.

4. Kiat Mengatasi Kesulitan Belajar
Banyak alternatif yang dapat diambil guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan beberapa langkah penting yang meliputi:
a. menganalisis hasil diagnosis, yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antarbagian tersebut untuk memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi siswa. Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus ,yang dialami siswa yang berprestasi rendah  itu dapat diketahui secara pasti.
b. mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan.
Berdasarkan hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang-bidang kecakapan bermasalah ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1) bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru sendiri;
2) bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang tua;
3) bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun orang tua.
Bidang kecakapan yang tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh guru maupun orang tua dapat bersumber dari kasus-kasus tunagrahita (lemah mental) dan kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan (unskilled people). Oleh karenanya, para siswa yang mengalami kedua masalah kesulitan belajar yang berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan perawatan khusus.
c. Menyusun program perbaikan.
Dalam hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya guru perlu menerapkan hal-hal sebagai berikut:
1) tujuan pengajaran remedial;
2) materi pengajaran remedial;
3) metode pengajaran remedial;
4) alokasi waktu pengajaran remedial;
5) evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.
d. Melaksanakan Program Perbaikan
Pada prinsipnya, program pengajaran remedial itu lebih cepat dilaksanakan tentu saja akan lebih baik. Tempat penyelenggaraannya bisa di mana saja, asal tempat itu memungkinkan siswa klien (siswa yang memerlukan bantuan) memusatkan perhatiannya terhadap proses pengajaran perbaikan tersebut. Namun patut dipertimbangkan oleh guru pembimbing kemungkinan digunakannya ruang Bimbingan dan Penyuluhan yang tersedia di sekolah dalam rangka mendayagunakan ruang BP tersebut.
Selanjutnya, untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif kiat pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan mempeiajari buku-buku khusus mengenai bimbingan dan penyuluhan. Selain itu, guru juga dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model mengajar tertentu yang dianggap sesuai sebagai alternative lain atau pendukung cara memecahkan masalah kesulitan belajar siswa.

B. Permasalahan Tingkah Laku
Perilaku seseorang dapat dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, yang melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma baik norma agama, norma hukum, dan norma adat. Menurut Andi Mappiare (1982) tingkah laku menyimpang itu juga disebut dengan “Tingkah Laku Bermasalah”. Artinya, tingkah laku bermasalah yang masih di anggap wajar dan di alami oleh remaja yaitu tingkah laku yang masih dalam batas ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan sebagian akibat adanya perubahan secara fisik dan psikis, dan masih dapat diterima sepanjang tidak merugikan diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Jadi, tingkah laku penyimpangan dapat diartikan bahwa perilaku yang buruk atau negatif yang merugikan diri sendiri dan orang lain yang tentu saja melanggar norma-norma yang ada yang cenderung berbeda dari orang-orang sekitarnya.
1. Jenis-jenis Tingkah Laku Menyimpang
Adapun bentuk-bentuk tingkah laku menyimpang yang dapat kita identifikasi adalah:
·           Reaksi hiperkenetik, maksudnya anak yang melakukan tingkah laku menyimpang cenderung berlebih-lebihan dalam bersikap.
·           Menarik diri, Remaja ini akan selalu menghindar dari kelompok teman-temannya karena di anggap berbeda dengan teman yang lain.
·           Cemas yang berlebihan, Ia akan selalu dilanda kecemasan atas sikapnya yang bertentangan dengan orang lain sehingga dirinya takut tidak akan diterima.
·           Melarikan diri dari rumah dan masuk perkumpulan anak-anak nakal (Gank), hal ini terjadi apabila, misalnya pendapatnya di rumah tidak didengarkan oleh penghuni rumah seperti ayah atau ibu, selalu diremehkan oleh saudara dan lain-lainnya.
·           Agresi individual, biasanya remaja yang mempunyai sikap seperti ini akan cendrung agresif terhadap lawannya dalam segala hal yang bersifat keras.
·           Menjadi remaja nakal, akibat tidak adanya perhatian di rumah atau orang-orang yang diharapkan menjadi tempat keluh kesah maka tidak mustahil semua sikap yang ia munculkan adalah sifatnya yang buruk dengan sering menggangu teman, memunculkan dan sikap lain yang bersifat fisik dan kekerasan.
·           Melakukan tindakan kriminal, mungkin seringnya remaja berinteraksi dengan lingkungan yang buruk dapat menyebabkan remaja tersebut malakukan hal-hal yang negatif seperti sering mencuri, merampok, berjudi dan sebagainya.
·           Penyimpangan seksual, hal ini dapat terjadi apa bila remaja tersebut terpengaruh hal-hal negatif di luar kewajibannya sebagai siswa dan anak yang seharusnya belajar di sekolah. Tapi mereka justru terperangkap pada jalan hitam dengan menjadi homo seksual, lesbi, gigolo, sadisme dan sebagainya.
·           Kecanduan narkotika dan obat-obat terlarang (Narkoba).
·           Melakukan pemerasan untuk mendapatkan uang kepada orang lain.
·           Dan lain-lain.
Batas tentang perilaku menyimpang tidak begitu jelas dan sangat luas, sebagai acuan bahwa perilaku dapat dikatakan menyimpang, maka Gunarsa (1986) menggolongkan ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Penyimpangan tingkah laku yang bersifat amoral dan asosial, dan tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat digolongkan kedalam pelanggaran hukum. Contohnya adalah, berbohong, membolos, kabur atau minggat dari rumah, membaca buku porno, berpesta semalam suntuk, berpakaian tidak pantas dan minum minuman keras.
2. Penyimpangan tingkah laku yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang hukum yang biasa disebut dengan kenakalan remaja (deliquency). Misalnya adalah berjudi, membunuh, memperkosa dan mencuri.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Tingkah Laku Menyimpang pada Anak
Banyak sekali faktor yang dapat menyebabkan timbulnya tingkah laku menyimpang, baik yang berasal dari dalam maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan maupun yang berasal dari luar dirinya.
Secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari:
a. Keadaan individu yang bersangkutan
1) Potensi kecerdasannya rendah, sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan akademik sebagaimana yang diharapkan. Akibatnya ia sering frustasi, mengalami konflik batin dan rendah diri.
2)  Mempunyai masalah yang tidak terpecahkan.
3)  Belajar cara penyesuaian diri yang salah.
4) Pengaruh dari lingkungan.
5) Tidak menemukan figur yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
b. Dari luar individu yang bersangkutan
1). Lingkungan Keluarga
·      Suasana kehidupan keluarga yang tidak menimbulkan rasa aman (keluarga brocken home).
·      Kontrol dari orang tua yang rendah, yang menyebabkan berkurangnya dispilin dalam kehidupan keluarga.
·      Orang tua yang bersikap otoriter dalam mendidik anak.
·      Tuntutan orang tua terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
·      Kehadiran dalam keluarga tidak diinginkan, sehingga orang tua tidak menyayanginya.
2) Lingkungan Sekolah
·      Tuntutan kurikulum yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dibanding dengan kemampuan rata-rata anak yang bersangkutan.
·      Longgarnya disiplin sekolah menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan yang ada.
·      Anak-anak sering tidak belajar kerena guru sering tidak masuk, sehingga perilaku anak tidak terkontrol.
·      Pendekatan yang dilakukan guru tidak sesuai dengan perkembangan anak.
·      Saranan prasarana sekolah yang kurang memadai, akibatnya aktivitas anak jadi terbatas.
3) Lingkungan Masyarakat
·         Kurangnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam membelajarkan anak atau memecah pelanggaran tata tertib sekolah.
·         Media cetak dan media elektronik yang beredar secara bebas yang sebenarnya belum layak buat anak, misalnya berupa gambar porno, buku cerita cabul.
·         Adanya contoh atau model di lingkungan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan anak, misalnya main judi, minuman keras dan pelacuran.
3. Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Klasifikasi anak tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan dengan itu, William M. C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi tersebut antara lain sebagai berikut:
a. anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
1.         The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
2.         Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
    1. Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
b. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
  1. neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2. children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan
4. Pelayanan yang Tepat Terhadap Remaja untuk Menghindari Terjadinya Tingkah Laku.
Penyimpangan perilaku remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya, tetapi juga orang lain dan memusnahkan harapan orang tua, sekolah dan bangsa. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat diatasi. Usaha tersebut dapat bersifat pencegahan, pengentasan, pembetulan, dan penjagaan atau pemeliharaan.
a. Usaha yang dapat dilakukan oleh keluarga
1) Menciptakan hubungan yang harmonis dan terbuka di antara anggota keluarga, anak mereka lebih kerasan di rumah dari pada keluyuran di luar rumah.
2) Orang tua jangan terlalu menuntut secara berlebihan kepada anak untuk berprestasi atau memaksakan kehendaknya untuk mengambil jurusan/bidang studi tertentu bilamana tidak sesuai dengan kemampuan/potensi yang dimiliki anak.
3) Membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dialami anak.
b. Usaha yang dapat dilakukan oleh sekolah
1) Menegakkan disiplin sekolah.
2) Membantu masalah yang di alami oleh siswa sebagaimana di ketahui bahwa salah satu sumber terjadinya perilaku menyimpang yaitu siswa menghadapi masalah yang tidak terpecahkan.
3) Menyediakan fasilitas, sarana dan prasarana belajar.
4) Sekolah perlu menjalin kerjasama dengan berbagai pihak.
c.·Usaha masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang
1) Secara bersama-sama ikut mengontrol dan menegur bila ada anak yang tidak masuk kelas pada jam pelajaran berlangsung.
2) Melaporkan kepada pihak sekolah bila mengetahui ada siswa dari sekolah itu melakukan tindakan menyimpang.
3) Ikut menjaga ketertiban sekolah, dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk terwujudnya proses belajar mengajar yang baik.

C. Autisme
1. Pengertian Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan. Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).
 Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Secara etimologi: anak autis adalah anak yang memiliki gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.
Autis Menurut Para Ahli Yaitu:
·         Leo Kanner (Handojo, 2003) autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami kesendirian, kecenderungan menyendiri.
·         Chaplin (2000) mengatakan: (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau diri sendiri (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri (3) Keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
·         American Psych: autisme adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association 2000)
·         Anak autistik adalah adanya 6 gejala/gangguan, yaitu dalam bidang Interaksi sosial; Komunikasi (bicara, bahasa, dan komunikasi); Perilaku, Emosi, dan Pola bermain; Gangguan sensoris; dan perkembangan terlambat atau tidak norma. Penampakan gejala dapat mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil (biasanya sebelum usia 3 tahun) (Power, 1983). Gangguan autisme terjadi pada masa perkembangan sebelum usia 36 bulan “Sumber dari Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
·         Autisme adalah suatu kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
·          Jadi anak autisme merupakan anak yang mengalami gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak umur sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta perilakunya.
·         Ditinjau dari segi pendidikan: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/layanan pendidikan secara khusus sejak dini.
·         Ditinjau dari segi medis: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan otak yang menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/terapi secara klinis.
·         Ditinjau dari segi psikologi: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek komunikasi sosial, perilaku, bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan secara psikologis.
·         Ditinjau dari segi sosial anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan berat dari beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial, sehingga anak ini memerlukan bimbingan ketrampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan lingkungannya.
·         Jadi Anak Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive (inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.
2. Faktor Penyebab Autis
·         Faktor Genetik
·         Ganguan pada Sistem Syaraf. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil.
·         Ketidak seimbangan Kimiawi. Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan.
·         Infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak.

3. Gejala Autis
Gejala anak autis antara lain:
1)  Interaksi sosial.
·      Tidak tertarik untuk bermain bersama teman,
·      Lebih suka menyendiri,
·      Tidak ada atau sedikit kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan,
·      Senang menarik-narik tangan orang lain untuk melakukan apa yang inginkan.
2) Komunikasi.
·      Perkembangan bahasa lambat,
·      Senang meniru atau membeo,
·      Anak tampak seperti tuli, sulit berbicara,
·      Kadang kata yang digunakan tidak sesuai artinya,
·      Mengoceh tanpa arti berulang-ulang,
·      Bicara tidak dipakai untuk alat berkomunikasi.
3) Pola Bermain.
·      Tidak bermain seperti anak-anak pada umumnya,
·      Senang akan benda-benda yang berputar,
·      Tidak bermain sesuai fungsi mainan,
·      Tidak kreatif, tidak imajinatif,
·      Dapat sangat lekat dengan benda tertentu.
4) Gangguan Sensoris.
·      Bila mendengar suara keras langsung menutup telinga,
·      Sering menggunakan indera pencium dan perasanya,
·      Dapat sangat sensitif terhadap sentuhan,
·      Tidak sensitif terhadap rasa sakit dan rasa takut.
5) Perkembangan Terlambat.
·      Tidak sesuai seperti anak normal, keterampilan sosial, komunikasi dan kognisi,
·      Dapat mempunyai perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun bahkan sirna.
Gejala di atas dapat dimulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil. Pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun gejala tampak agak kurang

4. Karakteristik Autis
Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang: 1) Komunikasi; 2) Interaksi sosial; 3) Gangguan sensoris; 4) Pola bermain; 5) Perilaku; 6) Emosi.
5. Hambatan-hambatan Anak Autis
Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi sosial. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus menerus mengulang perbuatan itu. Anak autistik juga menyenangi keteraturan yang berlebihan.
Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi masalah pada anak autis yaitu:
a. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world).
1). Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds). Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun ketika ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.
2). Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi. Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
3). Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking). Beberapa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
4). Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation and voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness) suara.
5). Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in understanding things that are seen). Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.
6). Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding gesturs). Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi seperti gerakan isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.
7). Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and smell). Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.
8). Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement). Ada gerakan-gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anak-anak yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan menyeringai.
9). Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled movements). Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan seimbang seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki beberapa kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan dan berlari atau sebaliknya.
b. Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and emotional problems).
1). Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal).
2). Menentang perubahan (Resistance to change).
3). Ketakutan khusus (Special fears).
4). Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing behaviour).
5). Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play).

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan
Permasalahan belajar timbul akibat dari kesulitan belajar siswa, yang secara garis besar terdiri dari: faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri; dan faktor ekstern, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari luar diri siswa.
Untuk menangani masalah tersebut, terlebih dahulu guru harus melakukan beberapa langkah penting yang meliputi: menganalisis hasil diagnosis, mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan, menyusun program perbaikan, dan melaksanakan program perbaikan.
Perilaku seseorang dapat dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat merugikan dirinya sendiri maupun orang lain, yang melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma baik norma agama, norma hukum, dan norma adat.
Secara garis besar faktor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari keadaan individu yang bersangkutan dan dari luar individu yang bersangkutan.
Penyimpangan perilaku remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya, tetapi juga orang lain dan memusnahkan harapan orang tua, sekolah dan bangsa. Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat diatasi. Usaha tersebut dapat bersifat pencegahan, pengentasan, pembetulan, dan penjagaan atau pemeliharaan yang melibatkan pihak keluarga, pihak sekolah, dan pihak masyarakat.
Autisme merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri

B.            Saran
Kelainan (fisik/psikis) yang terdapat pada diri seseorang janganlah dijadikan sebagai bahan hinaan. Peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangatlah berarti untuk memotivasi mereka untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam diri mereka. Oleh karena itu, terhadap orang yang memiliki kelainan tersebut kita tetap harus berlaku baik sama seperti memperlakukan orang normal pada umumnya.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca.