BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Setiap
orangtua pastinya tidak menginginkan terjadinya masalah dalam pertumbuhan dan
perkembangan anaknya. Namun kenyataannya, sebagian manusia yang dilahirkan ke
dunia ini mengalami pertumbuhan atau perkembangan yang tidak normal baik secara
fisik ataupun psikis sehingga untuk mengembangkan potensinya diperlukan adanya
layanan pendidikan khusus (Kirk & Galleger,1989).
Setiap
siswa pada prinsipnya tentu berhak memperoleh peluang untuk mencapai kinerja
akademik (academic performance) yang
memuaskan. Namun dari kenyataan sehari-hari tampak jelas bahwa siswa itu
memiliki perbedaan dalam hal kemampuan intelektual, kemampuan fisik, latar
belakang keluarga, kebiasaan dan pendekatan belajar yang terkadang sangat
mencolok antara seorang siswa dengan siswa lainnya.
Sementara
itu, penyelenggaraan pendidikan di sekolah-sekolah kita pada umumnya hanya
ditujukan kepada para siswa yang berkemampuan rata-rata, sehingga siswa yang
berkemampuan lebih atau yang berkemampuan kurang terabaikan. Dengan demikian,
siswa-siswa yang berkategori di luar rata-rata itu (sangat pintar dan sangat
bodoh) tidak mendapat kesempatan yang memadai untuk berkembang sesuai dengan
kapasitasnya. Dari sini kemudian timbullah apa yang disebut kesulitan belajar (learning
difficulty) yang tidak hanya menimpa siswa berkemampuan rendah saja, tetapi
juga dialami oleh siswa yang berkemampuan tinggi.
Selain
itu, kesulitan belajar juga dapat dialami oleh siswa yang berkemampuan
rata-rata (normal) disebabkan oleh faktor-faktor tertentu yang menghambat
tercapainya kinerja akademik yang sesuai dengan harapan.
Permasalahan
dalam pertumbuhan dan perkembangan anak juga dapat menimbulkan terjadinya
permasalahan dalam tingkah laku anak. Hal ini dapat terjadi akibat faktor yang
ada dalam diri anak itu sendiri (faktor intern)
maupun faktor dari luar (faktor ekstern).
Salahsatu
perkembangan yang menyimpang adalah autisme. Dimana anak mengalami gangguan
perkembangan yang kompleks menyangkut aspek komunikasi, interaksi sosial, dan
aktivitas jasmani (Suryana, 2004).
B.
Rumusan Masalah
1. Apakah
yang menjadi penyebab permasalahan dalam belajar dan bagaimanakah solusinya?
2. Apa
yang menyebabkan permasalahan dalam tingkah laku dan apa solusinya?
3. Apakah
yang dimaksud dengan autisme?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui apa yang menjadi penyebab permasalahan dalam belajar dan bagaimana
solusinya.
2. Untuk
mengetahui yang menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam tingkah laku dan
bagaimana solusinya.
3. Untuk
mengetahui apa yang dimaksud dengan autisme.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Permasalahan Belajar
Permasalahan
dalam belajar terjadi bilamana seorang siswa mengalami kesulitan dalam belajar.
1. Faktor Penyebab
Kesulitan Belajar
Fenomena kesulitan belajar seorang
siswa biasanya tampak jelas dari menurunnya kinerja akademik atau prestasi
belajarnya. Namun, kesulitan belajar juga dapat dibuktikan dengan munculnya
kelainan perilaku (misbehavior) siswa seperti kesukaan berteriak-teriak
di dalam kelas, mengusik teman, berkelahi, sering tidak masuk sekolah, dan sering
minggat dari sekolah.
Secara garis besar, faktor-faktor
penyebab timbulnya kesulitan belajar terdiri atas dua macam, yakni:
a. faktor intern siswa,
yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari dalam diri siswa sendiri.
b. faktor ekstern
siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang datang dari luar diri siswa.
Kedua faktor ini meliputi aneka
ragam hal dan keadaan yang antara lain tersebut di bawah ini.
a.
Faktor Intern Siswa
Faktor intern siswa meliputi
gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik siswa, yakni:
1)
yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi siswa;
2)
yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan
sikap;
3)
yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya
alat-alat indera penglihat dan pendengar (mata dan telinga).
b.
Faktor Ekstern Siswa
Faktor ekstern siswa meliputi semua
situasi dan kondisi lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar
siswa.
Faktor lingkungan ini meliputi:
1)
lingkungan keluarga, contohnya, ketidakharmonisan hubungan antara ayah dengan
ibu, dan rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2)
lingkungan perkampungan masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum
area), dan teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3)
lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk
seperti dekat pasar, kondisi guru dan alat-alat belajar yang berkualitas
rendah.
Selain faktor-faktor yang bersifat
umum di atas, ada pula faktor-faktor lain yang juga menimbulkan kesulitan
belajar siswa. Di antara faktor-faktor yang dapat dipandang sebagai faktor
khusus ini ialah sindrom psikologis berupa learning disabillity
(ketidakmampuan belajar). Sindrom (syndrome) yang berarti satuan gejala
yang muncul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis (Reber, 1988) yang
menimbulkan kesulitan belajar itu terdiri atas:
1) Disleksia (dyslexia),
yakni ketidakmampuan belajar membaca;
2) Disgrafia (dysgraphia),yakni
ketidakmampuan belajar menulis;
3) Diskalkulia (dyscalculia),
yakni ketidakmampuan belajar matematika.
Namun demikian, siswa yang
mengalami sindrom-sindrom di atas secara umum sebenarnya memiliki potensi IQ
yang normal bahkan di antaranya ada yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata.
Oleh karenanya, kesulitan belajar siswa yang menderita sindrom-sindrom tadi
mungkin hanya disebabkan oleh adanya minimal brain dysfunction, yaitu
gangguan ringan pada otak (Lask, 1985: Reber, 1988).
2. Diagnosis Kesulitan
Belajar
Sebelum menetapkan alternatif
pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan untuk
terlebih dahulu melakukan identifikasi upaya mengenali gejala dengan cermat
terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan
menerapkan "jenis penyakit" yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Dalam melakukan diagnosis
diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-langkah tertentu yang
diorientasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang dialami
siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai "diagnostik" kesulitan
belajar.
Banyak langkah-langkah diagnostik
yang dapat ditempuh guru, antara lain yang cukup terkenal adalah prosedur
Weener & Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991) sebagai
berikut:
1) melakukan observasi kelas untuk
melihat perilaku menyimpang siswa ketika mengikuti pelajaran;
2) memeriksa penglihatan dan pendengaran
siswa khususnya yang diduga mengalami kesulitan belajar;
3) mewawancarai orangtua atau wali siswa
untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang mungkin menimbulkan kesulitan belajar;
4) memberikan tes diagnostik bidang
kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat kesulitan belajar yang dialami
siswa;
5) memberikan tes kemampuan intelegensi
(lQ) khususnya kepada siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Secara umum, langkah-langkah
tersebut di atas dapat dilakukan dengan mudah oleh guru kecuali langkah ke-5
(tes IQ). Untuk keperluan tes lQ, guru dan orang tua siswa dapat berhubungan
dengan klinik psikologi. Dalam hal ini, yang perlu dicatat ialah apabila siswa
yang mengalami kesulitan belajar itu ber-lQ jauh di bawah normal (tuna
grahita), orang tua hendaknya mengirimkan siswa tersebut ke lembaga pendidikan
khusus anak-anak tuna grahita (sekoiah luar biasa), karena lembaga/sekolah
biasa tidak menyediakan tenaga pendldik dan kemudahan belajar khusus untuk
anak-anak abnormal. Selanjutnya, para siswa yang nyata-nyata menunjukkan misbehavior
berat seperti perilaku agresif yang berpotensi antisosial atau kecanduan
narkotika, harus diperlakukan secara khusus pula, umpamanya dimasukkan ke
lembaga pemasyarakatan anak-anak atau ke "pesantren" khusus pecandu
narkotika.
Adapun untuk mengatasi kesulitan
belajar siswa pengidap sindrom disleksia, disgrafia, dan diskalkulia
sebagaimana yang telah diuraikan, guru dan orang tua sangat dianjurkan untuk
memanfaatkan support teacher (guru pendukung). Guru khusus ini biasanya
bertugas menangani para siswa pengidap sindrom-sindrom tadi di samping
melakukan remedial teaching (pengajaran perbaikan).
Sayangnya di sekolah-sekolah kita,
tidak seperti di kebanyakan sekolah negara-negara maju, belum menyediakan
guru-guru pendukung. Namun, untuk
mengatasi kesulitan karena tidak adanya support teachers itu orang tua
siswa dapat berhubungan dengan biro konsultasi psikologi dan pendidikan yang
biasanya terdapat pada fakultas psikologi dan fakultas keguruan terkemuka di
kota-kota besar tertentu.
3.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar
Secara global, faktor-faktor yang
mempengaruhi belajar siswa dapat kita bedakan menjadi tiga macam, yakni:
1) Faktor
internal (faktor dari dalam siswa), yakni keadaan kondisi jasmani dan rohani
siswa;.
2) Faktor
eksternal (faktor dari luar siswa), yakni kondisi lingkungan di sekitar siswa
3) Faktor
pendekatan belajar (approach to learning), yakni jenis upaya belajar
siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan
kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran.
Faktor-faktor di atas
dalam banyak hal sering saling berkaitan dan mempengaruhi satu sama lain.
Seorang siswa yang bersikap conserving terhadap ilmu pengetahuan atau
bermotif ekstrinsik (faktor eksternal) umpamanya, biasanya cenderung mengambil
pendekatan belajar yang sederhana dan tidak mendalam. Sebaliknya, seorang siswa
yang berinteligensi tinggi (faktor internal) dan mendapat dorongan positif dari
orangtuanya (faktor eksternal), mungkin akan memiiih pendekatan belajar yang
lebih mementingkan kualitas hasil pembelajaran. Jadi, karena pengaruh
faktor-faktor tersebut di ataslah, muncul siswa-siswa yang high-achievers
(berprestasi tinggi) dan under-achievers (berprestasi rendah) atau gagal
sama sekali. Dalam hal ini, seorang guru yang kompeten dan profesional
diharapkan mampu mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan munculnya kelompok
siswa yang menunjukkan gejala kegagalan dengan berusaha mengetahui dan
mengatasi faktor yang menghambat proses belajar mereka.
1)
Faktor Internal Siswa
Faktor yang berasal
dari dalam diri siswa sendiri meliputi dua aspek, yakni: 1) aspek fisiologis
(yang bersifat jasmaniah); 2) aspek psikologis (yang bersifat rohaniah).
a.
Aspek Fisiologis
Kondisi umum jasmani
dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ
tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa
dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika
disertai pusing kepala berat misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta
(kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.
untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, siswa sangat
dianjurkan mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi. Selain itu, siswa
juga dianjurkan memilih pola istirahat dan olah raga ringan yang sedapat
mungkin terjadwal secara tetap dan berkesinambungan. Hal ini penting sebab
kesalahan pola makan-minum dan istirahat akan menimbulkan reaksi tonus yang
negatif dan merugikan semangat mental siswa itu sendiri.
Kondisi organ-organ
khusus siswa, seperti tingkat kesehatan indera pendengar dan indera penglihat,
juga sangat mempengaruhi kemampuan siswa dalam menyerap informasi dan
pengetahuan, khususnya yang disajikan di kelas. Daya pendengaran dalam
penglihatan siswa yang rendah, umpamanya, akan menyulitkan sensory register
dalam menyerap item-item informasi yang bersifat echoic dan iconic
(gema dan citra). Akibat negatif selanjutnya adalah terhambatnya proses
informasi yang dilakukan oleh sistem memori siswa tersebut.
Untuk mengatasi
kemungkinan timbulnya masalah mata dan telinga di atas, anda selaku guru yang
profesional seyogianya bekerja sama dengan pihak sekolah untuk memperoleh
bantuan pemeriksaan rutin (periodik) dari dinas-dinas kesehatan setempat. Kiat
lain yang tak kalah penting untuk mengatasi kekurangsempurnaan pendengaran dan
penglihatan siswa-siswa tertentu itu ialah dengan menempatkan mereka di deretan
bangku terdepan secara bijaksana. Artinya, anda tidak perlu menunjukkan sikap
dan alasan (apalagi di depan umum) bahwa mereka ditempatkan di depan kelas
karena kekurangbaikan mata dan telinga mereka. Langkah bijaksana ini perlu
diambil untuk mempertahankan self-esteem dan self-confidence
siswa-siswa khusus tersebut. Kemerosotan self-esteem
dan self-confidence (rasa percaya
diri) seorang siswa akan rnenimbulkan frustrasi yang pada gilirannya cepat atau
lambat siswa tersebut akan menjadi under-achiever atau mungkin gagal,
meskipun kapasitas kognitif mereka normal atau lebih tinggi daripada teman-temannya.
b.
Aspek Psikologis
Banyak faktor yang
termasuk aspek psikologis yang dapat menpengaruhi kuantitas dan kualitas
perolehan pembelajaran siswa. Namun, di antara faktor-faktor rohaniah siswa
yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut: 1)
tingkat kecerdasan/ inteligensi siswa; 2) sikap siswa; 3) bakat siswa; 4) minat
siswa; 5) motivasi siswa.
Inteligensi
Siswa
Inteligensi pada
umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan
atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat (Reber, 1988).
Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja melainkan juga
kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa
peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol daripada
peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan "menara
pengontrol" hampir seluruh aktivitas manusia.
Tingkat kecerdasan atau
inteligensi (lQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat
keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan inteligensi
seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya,
semakin rendah kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin kecil
peluangnya untuk memperoleh sukses.
Selanjutnya, di antara
siswa-siswa yang mayoritas berinteligensi normal itu mungkin terdapat satu atau
dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yakni
anak sangat cerdas dan anak sangart berbakat (IQ di atas 130). Di samping itu,
mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata (lQ 70 ke
bawah). Menghadapi situasi seperti ini, apa yang sebaiknya anda lakukan?
Setiap calon guru dan
guru profesional sepantasnya menyadari bahwa keluarbiasaan inteligensi siswa,
baik yang positif seperti superior maupun yang negatif seperti borderline,
lazimnya menimbulkan kesulitan belajar siswa yang bersangkutan. Di satu sisi
siswa yang cerdas sekali akan merasa tidak mendapatkan perhatian yang memadai
dari sekolah karena pelajaran yang disajikan terlampau mudah baginya.
Akibatnya, ia menjadi bosan dan frustasi karena tuntutan kebutuhan
keingintahuannya (curiosity) merasa dibendung secara tidak adil. Di sisi
lain, siswa yang bodoh sekali akan merasa sangat payah mengikuti sajian pelajaran
karena terlalu sukar baginya. Karenanya siswa itu sangat tertekan, dan akhirnya
merasa bosan dan frustrasi seperti yang dialami rekannya yang luar biasa
positif tadi.
Untuk menolong siswa
yang berbakat, sebaiknya anda menaikkan kelasnya setingkat lebih tinggi
daripada kelasnya sekarang. Kelak, apabila ternyata di kelas barunya itu dia
masih merasa terlalu mudah juga, siswa tersebut dapat dinaikkan setingkat lebih
tinggi lagi. Begitu seterusnya, hingga dia mendapatkan kelas yang tingkat
kesulitan mata pelajarannya sesuai dengan tingkat inteligensinya. Apabila cara
tersebut sulit ditempuh, alternatif lain dapat diambil, misalnya dengan cara
mengarahkan siswa tersebut kepada lembaga pendidikan khusus untuk para siswa
berbakat.
Sementara itu, untuk
menolong siswa yang berkecerdasan dibawah normal, tak dapat dilakukan
sebaliknya yakni dengan menurunkan ke kelas yang lebih rendah. Sebab, cara
penurunan kelas seperti ini dapat menimbulkan masalah baru yang bersifat
psiko-sosial yang tidak hanya mengganggu dirinya saja, tetapi juga mengganggu
adik-adik barunya.
Oleh karena itu,
tindakan yang dipandang lebih bijaksana adalah dengan cara memindahkan siswa
penyandang inteligensi tersebut ke lembaga pendidikan khusus untuk anak-anak
penyandang "kemalangan" IQ. Sayangnya, lembaga pendidikan khusus
anak-anak malang seperti juga lembaga pendidikan khusus anak-anak cemerlang, di
negara kita baru ada di kota-kota besar tertentu saja.
Sikap
Siswa
Sikap adalah gejala
internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau
merespons (response tendency) dengan
cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan sebagainya, baik
secara positif maupun negatif. Sikap (attitude)
siswa yang positif, terutama kepada anda dan mata pelajaran yang anda sajikan
merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa tersebut.
Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap anda dan mata pelajaran anda, apalagi
jika diiringi kebencian kepada anda atau kepada mata pelajaran anda dapat
menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut. Selain itu, sikap terhadap ilmu
pengetahuan yang bersifat conserving
walaupun mungkin tidak menimbulkan kesulitan belajar, namun prestasi yang
dicapai siswa akan kurang memuaskan.
Untuk mengantisipasi
kemungkinan nunculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di atas, guru
dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya
sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi haknya.dalam hal bersikap
positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk senantiasa
menghargai dan mencintai profesinya. Guru yang demikian tidak hanya menguasai
bahan-bahan yang terdapat dalam bidang studinya, tetapi juga mampu meyakinkan
kepada para siswa akan manfaat bidang studi itu bagi kehidupan mereka. Dengan
meyakini manfaat bidang studi tertentu, siswa akan merasa membutuhkannya, dan
dari perasaan butuh itulah diharapkan muncul sikap positif terhadap bidang
studi tersebut sekaligus terhadap guru yang mengajarkannya.
Bakat
Siswa
Secara umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial
yang dimiliki seseorang utnuk mencapai keberhasilanpada masa yang akan datang
(Chaplin, 1972; Reber, 1988). Dengan demikian, sebetulnya setiap orang pasti
memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai ke tingkat
tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Jadi, secara globa bakat itu
mirip dengan inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi
sangat cerdas (superior) atau cerdas
luar biasa (very superior) disebut
juga sebagai talented child, yakni
anak berbakat.
Dalam perkembangan
selanjutnya, bakat kemudian diartikan sebagai kemampuan individu untuk
melakukan tugas tertentu tanpa banyak bergantung pada upaya pendidikan dan
latihan. Seorang siswa yang berbakat dalam bidang elektro, misalnya, akan jauh
lebih mudah menyerap informasi, pengetahuan, dan keterampilan yang berhubungan
dengan bidang tersebut dibanding dengan siswa lainnya. Inilah yang kemudian
disebut bakat khusus (specific aptitude)
yang konon tak dapat dipelajari karena merupakan karunia inborn (pembawaan sejak lahir.
Sehubungan dengan hal
di atas, bakat akan dapat mempengaruhih tinggi rendahnya prestasi belajar
bidang-bidang studi tertentu. Oleh karenanya adalah hal yang tidak bijaksana
apabila orangtua memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya pada
jurusan keahlian tertentu tanpa mengetahui terlebih dahulu bakat yang dimiliki
anaknya. Pemaksaan kehendak pada seorang siswa, dan juga ketidaksadaran siswa
terhadap bakatnya sendiri sehingga ia memilih jurusan tertentu yang sebenarnya
bukan bakatnya, akan berpengaruh buruk terhadap kinerja akademik atau prestasi
belajarnya.
Minat
Siswa
Secara sederhana, minat
(interest) berarti kecenderungan dan
kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Menurut
Reber (1988), minat tidak termasuk istilah populer dalam psikologi karena
ketergantungannya yang banyak pada faktor-faktor internal lainnya seperti:
pemusatan perhatian, keingintahuan, motivasi, dan kebutuhan.
Namun terlepas dari
masalah populer atau tidak, minat seperti yang dipahami dan dipakai oleh orang
selama ini dapat mempengaruhi kualitas pencapaian hasil belajar siswa dalam
bidang-bidang studi tertentu. Umpamanya, seorang siswa yang menaruh minat besar
terhadap matematika akan memusatkan perhatiannya lebih banyak daripada siswa
lainnya. Kemudian, karena pemusatan perhatian yang intensif terhadap materi
itulah yang memungkinkan siswa tadi untuk belajar lebih giat, dan akhirnya
mencapai prestasi yang diinginkan. Guru dalam kaitan ini seyogianya berusaha
membangkitkan minat siswa untuk menguasai pengetahuan yang terkandung dalam
bidang studinya dengan cara yang kurang lebih sama dengan kiat membangun sikap
positif.
Motivasi
Siswa
Pengertian dasar
motivasi ialah keadaan internal organisme baik manusia maupun hewan yang mendorongnya
untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara
terarah (Gleitman, 1986; Reber, 1988).
Dalam perkembangan
selanjutnya, motivasi dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 1) motivasi
intrinsik; 2) motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan
yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya melakukan
tindakan belajar. Termasuk dalam motivasi intrinsik siswa adalah perasaan
menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut. Misalnya, untuk
kebutuhan masa depan siswa tersebut.
Adapun motivasi
ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dari luar individu siswa yang
juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan/tata
tertib sekolah, suri teladan orangtua, guru dan seterusnya, merupakan contoh
konkret motivasi ekstrinsik yang dapat menolong siswa untuk belajar. Kekurangan
atau ketiadaan motivasi, baik yang bersifat internal maupun yang bersifat
eksternal, akan menyebabkan kurang semangatnya siswa dalam melaksanakan proses
pembelajaran materi-materi pelajaran baik di sekolah maupun di rumah.
Dalam perspektif
psikologi kognitif, motivasi yang lebih signifikan bagi siswa adalah motivasi
intrinsik karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan
atau pengaruh orang lain. Selanjutnya, dorongan untuk mencapai prestasi dan
dorongan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk masa depan juga memberi
pengaruh kuat dan relatif lebih langgeng dibandingkan dengan dorongan hadiah
atau dorongan keharusan dari orang tua dan guru.
2)
Faktor Eksternal Siswa
Seperti faktor internal
siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas dua macam, yakni faktor
lingkungan sosial dan faktor lingkungan nonsosial.
Lingkungan
Sosial
Lingkungan sosial
sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-teman sekelas
dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Para guru yang selalu
menunjukkan sikap dan perilaku yang simpatik dan memperlihatkan suri teladan
yang baik dan rajin khususnya dalam hal belajar, misalnya rajin membaca dan
berdiskusi dapat menjadi daya dorong yang positif bagi kegiatan belajar siswa.
Selanjutnya yang
termasuk lingkungan sosial adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman sepermainan
di sekitar perkampungan siswa tersebut. Kondisi masyarakat di lingkungan kumuh
(slum area) yang serba kekurangan dan anak-anak penganggur, misalnya,
akan sangat mempengaruhi aktivitas belajar siswa. Paling tidak, siswa tersebut
akan menemukan kesulitan ketika memerlukan teman belajar atau berdiskusi atau
meminjam alat-alat belajar tertentu yang kebetulan belum dimilikinya.
Lingkungan sosial yang
lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orang tua dan keluarga siswa
itu sendiri. Sifat-sifat orang tua, praktik pengelolaan keluarga, ketegangan
keluarga, dan demografi keluarga (letak rumah), semuanya dapat memberdampak
baik ataupun buruk terhadap kegiatan beLajar dan hasil yang dicapai oleh siswa.
Contoh: kebiasaan yang diterapkan orang tua siswa dalam mengelola keluarga (family
management practice) yang keliru, seperti kelalaian orang tua ,dalam
memonitor kegiatan anak, dapat menimbulkan dampak lebih buruk lagi. Dalam hal
ini, bukan saja anak tidak mau belajar melainkan juga ia cenderung berperilaku
menyimpang, terutama perilaku menyimpang yang berat seperti antisosial
(Patterson & Loeber, 1984).
Lingkungan
Nonsosial
Faktor-faktor yang
termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah tempat
tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat beIajar, keadaan cuaca dan waktu
belajar yang digunakan siswa. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa.
Rumah yang sempit dan
berantakan serta perkampungan yang terlalu padat,dan tak memiliki sarana umum
untuk kegiatan remaja (seperti lapangan voli) misalnya, akan mendukung siswa
untuk berkeliaran ke tempat-tempat yang sebenarnya tak pantas dikunjungi.
Kondisi rumah dan perkampungan seperti itu jelas berpengaruh buruk terhadap
kegiatan belajar siswa.
Khusus mengenai faktor
yang disenangi untuk belajar (study time preference) seperti pagi atau
sore hari, seorang ahli bernama J. Biggers (1980) berpendapat bahwa belajar
pada pagi hari lebih efektif daripada belajar pada waktu-waktu lainnya. Namun,
menurut penelitian beberapa ahli learning style (gaya belajar), hasil
belajar itu tidak bergantung pada waktu secara mutlak, tetapi bergantung pada
pilihan waktu,yang cocok dengan kesiapsiagaan siswa (Dunn et al, 1986). Di
antara siswa ada yang siap belajar pagi hari, ada pula yang siap pada sore
hari, bahkan tengah maiam. Perbedaan antara waktu dan kesiapan belajar inilah
,yang menimbulkan perbedaan study time preference antara seorang siswa
dengan siswa lainnya.
Namun demikian, menurut
hasil penelitian mengenai kinerja baca (reading performance) sekelompok
mahasiswa di sebuah universitas di Australia Selatan, tidak ada perbedaan yang
berarti antara hasil membaca pada pagi hari dan hasil membaca pada sore hari.
Selain itu, keeratan korelasi antara study time preference dengan hasil
memhaca pun sulit dibuktikan. Bahkan mereka yang lebih senang belajar pada pagi
hari dan dites pada sore hari ternyata hasilnya tetap baik. Sebaliknya, ada
pula di antara mereka yang lebih suka belajar pada sore hari dan dites pada saat
yang sama, namun hasilnya tidak memuaskan (Syah, 1990).
Dengan demikian, waktu
yang digunakan siswa untuk belajar yang selama ini sering dipercaya berpengaruh
terhadap prestasi belajar siswa, tak perlu dihiraukan. Sebab, bukan waktu yang
penting dalam belajar melainkan kesiapan sistem memori siswa dalam menyerap,
mengelola, dan menyimpan item-item informasi dan pengetahuan yang dipelajari
siswa tersebut.
3)
Faktor Pendekatan Belajar
Pendekatan belajar,
dapat dipahami sebagai segala cara atau strategi yang digunakan siswa dalam
menunjang keefektifan dan efisiensi proses pembelajaran materi tertentu.
Strategi dalam hal ini berarti seperangkat langkah operasional yang direkayasa
sedemikian rupa untuk memecahkan masalah atau mencapai tujuan belajar tertentu (Lawson,
1991).
Di samping
faktor-faktor internal dan eksternal siswa sebagaimana yang telah dipaparkan di
muka, faktor pendekatan belajar juga berpengaruh terhadap taraf keberhasilan
proses belajar siswa tersebut. Seorang siswa yang terbiasa mengaplikasikan
pendekatan belajar deep misalnya, mungkin sekali berpeluang untuk meraih
prestasi belajar yang bermutu daripada siswa yang menggunakan pendekatan
belajar surface atau reproductive.
4. Kiat Mengatasi
Kesulitan Belajar
Banyak alternatif yang dapat diambil
guru dalam mengatasi kesulitan belajar siswanya. Akan tetapi, sebelum pilihan
tertentu diambil, guru sangat diharapkan untuk terlebih dahulu melakukan
beberapa langkah penting yang meliputi:
a. menganalisis hasil diagnosis,
yakni menelaah bagian-bagian masalah dan hubungan antarbagian tersebut untuk
memperoleh pengertian yang benar mengenai kesulitan belajar yang dihadapi
siswa. Data dan informasi yang diperoleh guru melalui diagnostik kesulitan
belajar tadi perlu dianalisis sedemikian rupa, sehingga jenis kesulitan khusus
,yang dialami siswa yang berprestasi rendah
itu dapat diketahui secara pasti.
b.
mengidentifikasi dan menentukan bidang kecakapan tertentu yang memerlukan
perbaikan.
Berdasarkan
hasil analisis tadi, guru diharapkan dapat menentukan bidang kecakapan tertentu
yang dianggap bermasalah dan memerlukan perbaikan. Bidang-bidang kecakapan
bermasalah ini dapat dikategorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1) bidang kecakapan bermasalah yang
dapat ditangani oleh guru sendiri;
2)
bidang kecakapan bermasalah yang dapat ditangani oleh guru dengan bantuan orang
tua;
3)
bidang kecakapan bermasalah yang tidak dapat ditangani baik oleh guru maupun
orang tua.
Bidang kecakapan yang
tidak dapat ditangani atau terlalu sulit untuk ditangani baik oleh guru maupun
orang tua dapat bersumber dari kasus-kasus tunagrahita (lemah mental) dan
kecanduan narkotika. Mereka yang termasuk dalam lingkup dua macam kasus yang
bermasalah berat ini dipandang tidak berketerampilan (unskilled people).
Oleh karenanya, para siswa yang mengalami kedua masalah kesulitan belajar yang
berat tersebut tidak hanya memerlukan pendidikan khusus, tetapi juga memerlukan
perawatan khusus.
c. Menyusun program
perbaikan.
Dalam
hal menyusun program pengajaran perbaikan (remedial teaching), sebelumnya
guru perlu menerapkan hal-hal sebagai berikut:
1)
tujuan pengajaran remedial;
2)
materi pengajaran remedial;
3)
metode pengajaran remedial;
4)
alokasi waktu pengajaran remedial;
5)
evaluasi kemajuan siswa setelah mengikuti program pengajaran remedial.
d. Melaksanakan Program Perbaikan
Pada
prinsipnya, program pengajaran remedial itu lebih cepat dilaksanakan tentu saja
akan lebih baik. Tempat penyelenggaraannya bisa di mana saja, asal tempat itu
memungkinkan siswa klien (siswa yang memerlukan bantuan) memusatkan
perhatiannya terhadap proses pengajaran perbaikan tersebut. Namun patut
dipertimbangkan oleh guru pembimbing kemungkinan digunakannya ruang Bimbingan
dan Penyuluhan yang tersedia di sekolah dalam rangka mendayagunakan ruang BP
tersebut.
Selanjutnya,
untuk memperluas wawasan pengetahuan mengenai alternatif-alternatif kiat
pemecahan masalah kesulitan belajar siswa, guru sangat dianjurkan mempeiajari
buku-buku khusus mengenai bimbingan dan penyuluhan. Selain itu, guru juga
dianjurkan untuk mempertimbangkan penggunaan model-model mengajar tertentu yang
dianggap sesuai sebagai alternative lain atau pendukung cara memecahkan masalah
kesulitan belajar siswa.
B.
Permasalahan Tingkah Laku
Perilaku seseorang dapat dikatakan
menyimpang apabila perilaku tersebut dapat merugikan dirinya sendiri maupun
orang lain, yang melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma baik norma
agama, norma hukum, dan norma adat. Menurut Andi Mappiare (1982) tingkah laku
menyimpang itu juga disebut dengan “Tingkah Laku Bermasalah”. Artinya, tingkah
laku bermasalah yang masih di anggap wajar dan di alami oleh remaja yaitu
tingkah laku yang masih dalam batas ciri-ciri pertumbuhan dan perkembangan
sebagian akibat adanya perubahan secara fisik dan psikis, dan masih dapat
diterima sepanjang tidak merugikan diri sendiri dan masyarakat sekitarnya.
Jadi, tingkah laku penyimpangan dapat
diartikan bahwa perilaku yang buruk atau negatif yang merugikan diri sendiri
dan orang lain yang tentu saja melanggar norma-norma yang ada yang cenderung berbeda
dari orang-orang sekitarnya.
1.
Jenis-jenis Tingkah Laku Menyimpang
Adapun bentuk-bentuk tingkah laku
menyimpang yang dapat kita identifikasi adalah:
·
Reaksi hiperkenetik, maksudnya
anak yang melakukan tingkah laku menyimpang cenderung berlebih-lebihan dalam
bersikap.
·
Menarik diri, Remaja
ini akan selalu menghindar dari kelompok teman-temannya karena di anggap
berbeda dengan teman yang lain.
·
Cemas yang berlebihan, Ia
akan selalu dilanda kecemasan atas sikapnya yang bertentangan dengan orang lain
sehingga dirinya takut tidak akan diterima.
·
Melarikan diri dari
rumah dan masuk perkumpulan anak-anak nakal (Gank), hal ini terjadi apabila,
misalnya pendapatnya di rumah tidak didengarkan oleh penghuni rumah seperti
ayah atau ibu, selalu diremehkan oleh saudara dan lain-lainnya.
·
Agresi individual, biasanya
remaja yang mempunyai sikap seperti ini akan cendrung agresif terhadap lawannya
dalam segala hal yang bersifat keras.
·
Menjadi remaja nakal, akibat
tidak adanya perhatian di rumah atau orang-orang yang diharapkan menjadi tempat
keluh kesah maka tidak mustahil semua sikap yang ia munculkan adalah sifatnya
yang buruk dengan sering menggangu teman, memunculkan dan sikap lain yang
bersifat fisik dan kekerasan.
·
Melakukan tindakan
kriminal, mungkin seringnya remaja berinteraksi dengan lingkungan yang buruk
dapat menyebabkan remaja tersebut malakukan hal-hal yang negatif seperti sering
mencuri, merampok, berjudi dan sebagainya.
·
Penyimpangan seksual, hal
ini dapat terjadi apa bila remaja tersebut terpengaruh hal-hal negatif di luar
kewajibannya sebagai siswa dan anak yang seharusnya belajar di sekolah. Tapi
mereka justru terperangkap pada jalan hitam dengan menjadi homo seksual, lesbi,
gigolo, sadisme dan sebagainya.
·
Kecanduan narkotika dan
obat-obat terlarang (Narkoba).
·
Melakukan pemerasan
untuk mendapatkan uang kepada orang lain.
·
Dan lain-lain.
Batas tentang perilaku menyimpang tidak
begitu jelas dan sangat luas, sebagai acuan bahwa perilaku dapat dikatakan
menyimpang, maka Gunarsa (1986) menggolongkan ke dalam dua jenis, yaitu:
1.
Penyimpangan tingkah laku yang bersifat amoral dan asosial, dan tidak diatur
dalam undang-undang, sehingga tidak dapat digolongkan kedalam pelanggaran
hukum. Contohnya adalah, berbohong, membolos, kabur atau minggat dari rumah,
membaca buku porno, berpesta semalam suntuk, berpakaian tidak pantas dan minum
minuman keras.
2.
Penyimpangan tingkah laku yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian
sesuai dengan undang-undang hukum yang biasa disebut dengan kenakalan remaja (deliquency). Misalnya adalah berjudi,
membunuh, memperkosa dan mencuri.
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Munculnya Tingkah Laku Menyimpang pada Anak
Banyak sekali faktor yang dapat
menyebabkan timbulnya tingkah laku menyimpang, baik yang berasal dari dalam
maupun dari dalam diri individu yang bersangkutan maupun yang berasal dari luar
dirinya.
Secara garis besar
faktor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari:
a. Keadaan individu yang bersangkutan
1) Potensi kecerdasannya rendah,
sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan akademik sebagaimana yang diharapkan.
Akibatnya ia sering frustasi, mengalami konflik batin dan rendah diri.
2)
Mempunyai masalah yang tidak terpecahkan.
3)
Belajar cara penyesuaian diri yang salah.
4) Pengaruh dari lingkungan.
5) Tidak menemukan figur yang dapat
digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
b. Dari luar individu yang bersangkutan
1). Lingkungan Keluarga
·
Suasana kehidupan
keluarga yang tidak menimbulkan rasa aman (keluarga brocken home).
·
Kontrol dari orang tua
yang rendah, yang menyebabkan berkurangnya dispilin dalam kehidupan keluarga.
·
Orang tua yang bersikap
otoriter dalam mendidik anak.
·
Tuntutan orang tua
terlalu tinggi atau tidak sesuai dengan kemampuan yang dimiliki anak.
·
Kehadiran dalam
keluarga tidak diinginkan, sehingga orang tua tidak menyayanginya.
2) Lingkungan Sekolah
·
Tuntutan kurikulum yang
terlalu tinggi atau terlalu rendah dibanding dengan kemampuan rata-rata anak
yang bersangkutan.
·
Longgarnya disiplin
sekolah menyebabkan terjadinya pelanggaran peraturan yang ada.
·
Anak-anak sering tidak
belajar kerena guru sering tidak masuk, sehingga perilaku anak tidak
terkontrol.
·
Pendekatan yang
dilakukan guru tidak sesuai dengan perkembangan anak.
·
Saranan prasarana
sekolah yang kurang memadai, akibatnya aktivitas anak jadi terbatas.
3) Lingkungan Masyarakat
·
Kurangnya partisipasi
aktif dari masyarakat dalam membelajarkan anak atau memecah pelanggaran tata
tertib sekolah.
·
Media cetak dan media
elektronik yang beredar secara bebas yang sebenarnya belum layak buat anak,
misalnya berupa gambar porno, buku cerita cabul.
·
Adanya contoh atau
model di lingkungan masyarakat yang kurang menguntungkan bagi perkembangan anak,
misalnya main judi, minuman keras dan pelacuran.
3.
Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami
hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu
tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya.
Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor eksternal yaitu
pengaruh dari lingkungan sekitar.
Klasifikasi anak tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat
diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial dan anak yang mengalami gangguan emosi. Sehubungan
dengan itu, William M. C (1975) mengemukakan kedua klasifikasi
tersebut antara lain sebagai berikut:
a. anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri
dengan lingkungan sosial:
1.
The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan
hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga
dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut
norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang
berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah
dengan lingkungan di luar kelompoknya.
2.
Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam
perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka
adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar
dan terlantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang
dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua
yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan
nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada
perlakuan yang ramah.
- Children with minimum
socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama
sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan
atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada
golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
b. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
- neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih
bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah
pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah
dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di
samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini
biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya
disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan
anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau
juga adanya kesulitan belajar yang berat.
2. children with psychotic processes, anak pada
kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan
penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang
nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri.
Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem
syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman
keras dan obat-obatan
4.
Pelayanan yang Tepat Terhadap Remaja untuk Menghindari Terjadinya Tingkah Laku.
Penyimpangan
perilaku remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya,
tetapi juga orang lain dan memusnahkan harapan orang tua, sekolah dan bangsa.
Oleh karena itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut
dapat diatasi. Usaha tersebut dapat bersifat pencegahan, pengentasan,
pembetulan, dan penjagaan atau pemeliharaan.
a. Usaha yang dapat
dilakukan oleh keluarga
1)
Menciptakan hubungan yang harmonis dan terbuka di antara anggota keluarga, anak
mereka lebih kerasan di rumah dari pada keluyuran di luar rumah.
2) Orang tua jangan terlalu menuntut secara
berlebihan kepada anak untuk berprestasi atau memaksakan kehendaknya untuk
mengambil jurusan/bidang studi tertentu bilamana tidak sesuai dengan kemampuan/potensi
yang dimiliki anak.
3)
Membantu mengatasi berbagai kesulitan yang dialami anak.
b. Usaha yang
dapat dilakukan oleh sekolah
1) Menegakkan disiplin sekolah.
2) Membantu masalah yang di alami
oleh siswa sebagaimana di ketahui bahwa salah satu sumber terjadinya perilaku
menyimpang yaitu siswa menghadapi masalah yang tidak terpecahkan.
3) Menyediakan fasilitas, sarana dan
prasarana belajar.
4) Sekolah perlu menjalin kerjasama
dengan berbagai pihak.
c.·Usaha
masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang
1) Secara bersama-sama ikut
mengontrol dan menegur bila ada anak yang tidak masuk kelas pada jam pelajaran
berlangsung.
2) Melaporkan kepada pihak sekolah
bila mengetahui ada siswa dari sekolah itu melakukan tindakan menyimpang.
3) Ikut menjaga ketertiban sekolah,
dan menciptakan suasana yang aman dan nyaman untuk terwujudnya proses belajar
mengajar yang baik.
C.
Autisme
1. Pengertian Autisme
Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua kata yaitu ‘aut’ yang
berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang
secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan. Sehingga
autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik
dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).
Pengertian
ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada
orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak
membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.
Secara etimologi: anak autis adalah anak yang
memiliki gangguaan perkembangan dalam dunianya sendiri.
Autis Menurut Para Ahli Yaitu:
·
Leo Kanner (Handojo, 2003)
autisme merupakan suatu jenis gangguan perkembangan pada anak, mengalami
kesendirian, kecenderungan menyendiri.
·
Chaplin (2000)
mengatakan: (1) cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan personal atau
diri sendiri (2) menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan harapan sendiri
(3) Keyakinan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
·
American Psych: autisme
adalah ganguan perkembangan yang terjadi pada anak yang mengalami kondisi
menutup diri. Gangguan ini mengakibatkan anak mengalami keterbatasan dari segi
komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku “Sumber dari Pedoman Pelayanan
Pendidikan Bagi Anak Austistik”. (American Psychiatic Association 2000)
·
Anak autistik adalah
adanya 6 gejala/gangguan, yaitu dalam bidang Interaksi sosial; Komunikasi
(bicara, bahasa, dan komunikasi); Perilaku, Emosi, dan Pola bermain; Gangguan
sensoris; dan perkembangan terlambat atau tidak norma. Penampakan gejala dapat
mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil (biasanya sebelum usia 3 tahun)
(Power, 1983). Gangguan autisme terjadi pada masa perkembangan sebelum usia 36
bulan “Sumber dari Pedoman Penggolongan Diagnotik Gangguan Jiwa” (PPDGJ III)
·
Autisme adalah suatu
kondisi yang mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang
normal.
·
Jadi anak autisme merupakan anak yang
mengalami gangguan perkembangan yang sangat kompleks yang dapat diketahui sejak
umur sebelum 3 tahun mencakup bidang komunikasi, interaksi sosial serta
perilakunya.
·
Ditinjau dari segi
pendidikan: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan
komunikasi, sosial, perilaku pada anak sesuai dengan kriteria DSM-IV sehingga
anak ini memerlukan penanganan/layanan pendidikan secara khusus sejak dini.
·
Ditinjau dari segi
medis: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan/kelainan otak yang
menyebabkan gangguan perkembangan komunikasi, sosial, perilaku sesuai dengan
kriteria DSM-IV sehingga anak ini memerlukan penanganan/terapi secara klinis.
·
Ditinjau dari segi
psikologi: anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan yang
berat bisa ketahui sebelum usia 3 tahun, aspek komunikasi sosial, perilaku,
bahasa sehingga anak perlu adanya penanganan secara psikologis.
·
Ditinjau dari segi
sosial anak autis adalah anak yang mengalami gangguan perkembangan berat dari
beberapa aspek komunikasi, bahasa, interaksi sosial, sehingga anak ini
memerlukan bimbingan ketrampilan sosial agar dapat menyesuaikan dengan
lingkungannya.
·
Jadi Anak Autisme
merupakan salah satu gangguan perkembangan fungsi otak yang bersifat pervasive
(inco) yaitu meliputi gangguan kognitif, bahasa, perilaku, komunikasi, dan
gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai dunianya sendiri.
2.
Faktor Penyebab Autis
·
Faktor Genetik
·
Ganguan pada Sistem
Syaraf. Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan
pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah
pada otak kecil.
·
Ketidak seimbangan
Kimiawi. Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik
berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan.
·
Infeksi yang terjadi
sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang
terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak.
3.
Gejala Autis
Gejala anak autis antara lain:
1)
Interaksi sosial.
·
Tidak tertarik untuk
bermain bersama teman,
·
Lebih suka menyendiri,
·
Tidak ada atau sedikit
kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan,
·
Senang menarik-narik
tangan orang lain untuk melakukan apa yang inginkan.
2) Komunikasi.
·
Perkembangan bahasa
lambat,
·
Senang meniru atau
membeo,
·
Anak tampak seperti
tuli, sulit berbicara,
·
Kadang kata yang
digunakan tidak sesuai artinya,
·
Mengoceh tanpa arti
berulang-ulang,
·
Bicara tidak dipakai
untuk alat berkomunikasi.
3) Pola Bermain.
·
Tidak bermain seperti
anak-anak pada umumnya,
·
Senang akan benda-benda
yang berputar,
·
Tidak bermain sesuai
fungsi mainan,
·
Tidak kreatif, tidak
imajinatif,
·
Dapat sangat lekat
dengan benda tertentu.
4) Gangguan Sensoris.
·
Bila mendengar suara
keras langsung menutup telinga,
·
Sering menggunakan
indera pencium dan perasanya,
·
Dapat sangat sensitif
terhadap sentuhan,
·
Tidak sensitif terhadap
rasa sakit dan rasa takut.
5) Perkembangan Terlambat.
·
Tidak sesuai seperti
anak normal, keterampilan sosial, komunikasi dan kognisi,
·
Dapat mempunyai
perkembangan yang normal pada awalnya, kemudian menurun bahkan sirna.
Gejala di atas dapat dimulai tampak sejak
lahir atau saat masih kecil. Pada beberapa anak sekitar umur 5-6 tahun gejala
tampak agak kurang
4.
Karakteristik Autis
Anak autis mempunyai masalah/gangguan dalam bidang:
1) Komunikasi; 2) Interaksi sosial; 3) Gangguan sensoris; 4) Pola bermain; 5) Perilaku;
6) Emosi.
5.
Hambatan-hambatan Anak Autis
Ada beberapa permasalahan yang dialami
oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi
sosial. Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk
menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka
terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus
menerus mengulang perbuatan itu. Anak autistik juga menyenangi keteraturan yang
berlebihan.
Lorna Wing (1974) menuliskan dua
kelompok besar yang menjadi masalah pada anak autis yaitu:
a. Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world).
1). Respon terhadap suara yang
tidak biasa (unusually responses to
sounds). Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan
suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun ketika ada yang
menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat juga sangat tertarik pada
beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi ada anak autis yang sangat
tergangu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.
2). Sulit dalam memahami
pembicaraan (Dificulties in understanding
speech). Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki
makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham
apabila dirinya dimarahi. Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami
keterbatasan dalam memahami pembicaraan.
3). Kesulitan ketika bercakap-cakap
(Difiltuties when talking). Beberapa anak
autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan
sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang
lain, mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat
menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.
4). Lemah dalam pengucapan dan
kontrol suara (Poor pronunciation and
voice control). Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan
suara tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir
sama, memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka
biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness) suara.
5). Masalah dalam memahami benda
yang dilihat (Problems in understanding
things that are seen). Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang
sangat terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz),
anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat
detil yang tampak.
6). Masalah dalam pemahaman gerak
isarat (problem in understanding gesturs).
Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi seperti gerakan
isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.
7). Indra peraba, perasa dan pembau
(The senses of touch, taste and smell).
Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan
pembau mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.
8). Gerakan tubuh yang tidak biasa
(Unusually bodily movement). Ada
gerakan-gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anak-anak
yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan
menyeringai.
9). Kekakuan dalam gerakan-gerakan
terlatih (clumsiness in skilled movements).
Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan seimbang
seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki beberapa
kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati memanjat.
Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan dan berlari atau
sebaliknya.
b. Masalah gangguan perilaku dan
emosi (Dificult behaviour and emotional problems).
1). Sikap menyendiri dan menarik
diri (Aloofness and withdrawal).
2). Menentang perubahan (Resistance to change).
3). Ketakutan khusus (Special fears).
4). Prilaku yang memalukan secara
sosial (Socially embarrassing behaviour).
5). Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play).
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Permasalahan belajar
timbul akibat dari kesulitan belajar siswa, yang secara garis besar terdiri
dari: faktor intern siswa, yakni hal-hal atau keadaan-keadaan yang muncul dari
dalam diri siswa sendiri; dan faktor ekstern, yakni hal-hal atau
keadaan-keadaan yang muncul dari luar diri siswa.
Untuk menangani masalah
tersebut, terlebih dahulu guru harus melakukan beberapa langkah penting yang
meliputi: menganalisis hasil diagnosis, mengidentifikasi dan menentukan bidang
kecakapan tertentu yang memerlukan perbaikan, menyusun program perbaikan, dan
melaksanakan program perbaikan.
Perilaku seseorang
dapat dikatakan menyimpang apabila perilaku tersebut dapat merugikan dirinya
sendiri maupun orang lain, yang melanggar aturan-aturan, nilai-nilai dan norma
baik norma agama, norma hukum, dan norma adat.
Secara garis besar
faktor-faktor penyebab terjadinya tingkah laku menyimpang dapat berasal dari keadaan
individu yang bersangkutan dan dari luar individu yang bersangkutan.
Penyimpangan perilaku
remaja atau siswa tidak hanya merugikan dirinya dan masa depannya, tetapi juga
orang lain dan memusnahkan harapan orang tua, sekolah dan bangsa. Oleh karena
itu diperlukan tindakan nyata agar tingkah laku yang menyimpang tersebut dapat
diatasi. Usaha tersebut dapat bersifat pencegahan, pengentasan, pembetulan, dan
penjagaan atau pemeliharaan yang melibatkan pihak keluarga, pihak sekolah, dan
pihak masyarakat.
Autisme merupakan salah
satu gangguan perkembangan fungsi otak yang meliputi gangguan kognitif, bahasa,
perilaku, komunikasi, dan gangguan interaksi sosial, sehingga ia mempunyai
dunianya sendiri
B.
Saran
Kelainan (fisik/psikis)
yang terdapat pada diri seseorang janganlah dijadikan sebagai bahan hinaan.
Peranan keluarga, sekolah, dan masyarakat sangatlah berarti untuk memotivasi
mereka untuk memaksimalkan potensi yang ada dalam diri mereka. Oleh karena itu,
terhadap orang yang memiliki kelainan tersebut kita tetap harus berlaku baik
sama seperti memperlakukan orang normal pada umumnya.
Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi pembaca.